Setiap Individu Berhak Beribadah Tanpa Intimidasi

Setiap Individu Berhak Beribadah Tanpa Intimidasi

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh kabar intimidasi terhadap jemaat Gereja Tesalonika di Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Jemaat yang sedang beribadah harus menghadapi gangguan kelompok tertentu yang memprotes keberadaan mereka.

Peristiwa yang terulang ini bukan sekadar insiden kecil di satu sudut wilayah, tetapi cermin yang menohok wajah toleransi bangsa ini. Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Dhahana Putra, dalam pernyataannya menegaskan bahwa intimidasi terhadap warga negara yang sedang menjalankan ibadah adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.

Dhahana Putra mengingatkan, kebebasan beragama adalah hak yang dijamin konstitusi, bukan hadiah yang bisa diberikan atau dicabut oleh kelompok mayoritas atau bahkan pemerintah daerah sekalipun. Pernyataan ini harus kita apresiasi, sekaligus kita jadikan momentum untuk menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan praktik intoleransi berkedok aspirasi masyarakat.

Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Dalam konteks UUD ini, hak beribadah adalah hak asasi yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, apapun alasannya. Intimidasi terhadap jemaat Gereja Tesalonika tidak hanya melukai mereka sebagai individu, tetapi juga merusak sendi-sendi kebangsaan yang sejak awal dibangun di atas semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Sebagai bangsa, kita harus mengingat bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah hasil perjuangan kolektif berbagai etnis dan agama—bukan milik satu kelompok tertentu. Fakta bahwa jemaat Gereja Tesalonika harus dipindahkan untuk beribadah di aula kecamatan sebagai hasil kompromi, menunjukkan rapuhnya komitmen kita terhadap kebebasan beragama.

Negara seharusnya hadir untuk melindungi hak warga minoritas, bukan justru mencari jalan tengah yang merugikan mereka. Kasus ini bukan yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan Setara Institute dan Komnas HAM menunjukkan peningkatan jumlah pelanggaran kebebasan beragama di berbagai daerah.

Sebagian besar pelanggaran kebebasan beragama terjadi karena kelompok intoleran memaksakan kehendak mereka, sementara pemerintah daerah gagal memberikan perlindungan yang semestinya. Dalam tradisi Islam sendiri, prinsip “tidak ada paksaan dalam beragama” sudah jelas tertulis dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 256).

Imam Al-Ghazali (w. 1111 M), seorang ulama besar dalam karyanya Ihya Ulumuddin, menegaskan: “Hidayah tidak datang dengan pedang, tetapi dengan ilmu dan akhlak yang mulia.” Pernyataan al-Ghazali ini menolak keras segala bentuk pemaksaan atau intimidasi dalam urusan iman.

Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar lain, dalam Majmu’ Fatawa juga pernah mengatakan: “Negara tidak boleh memaksa warga non-Muslim untuk mengikuti aturan ibadah Islam dalam wilayah yang menjadi miliknya. Setiap manusia bebas dalam keyakinannya, dan negara wajib menjamin keselamatan mereka.”

Sejak abad pertengahan, para pemikir Muslim sudah menyadari bahwa paksaan hanya akan melahirkan kemunafikan sosial, bukan ketenangan iman. Lalu mengapa pada abad ke-21, kita justru menyaksikan praktik-praktik intoleransi yang memalukan.

Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh bersikap ambigu. Ketika intimidasi terhadap jemaat gereja dibiarkan, atau diselesaikan dengan “kompromi” yang merugikan minoritas, maka negara sedang gagal menjalankan mandat konstitusi.

Presiden Jokowi dalam Rakornas Kepala Daerah dan FKPD 2023 pernah mengingatkan: “Konstitusi harus ditempatkan di atas kesepakatan lokal. Tidak boleh ada kesepakatan yang melanggar UUD 1945 hanya karena ingin menjaga stabilitas semu.”

Pesan Mantan Presiden RI Ini sangat penting untuk ke depan. Pemerintah daerah harus berani menegakkan hukum, meskipun berhadapan dengan tekanan kelompok intoleran. Jika tidak, apa bedanya negara hukum dengan negara mayoritarian.

Dua hal yang harus dilakukan untuk mencegah kasus serupa terulang. Pertama, pendidikan moderasi beragama harus diperkuat sejak dini. Sekolah-sekolah harus menjadi ruang di mana anak-anak belajar bahwa perbedaan adalah sunnatullah (ketentuan Tuhan) yang harus diterima, bukan ancaman yang harus dilawan.

Kedua, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku intoleransi. Jangan biarkan intimidasi sekecil apapun dibiarkan karena akan menjadi preseden buruk bagi kelompok intoleran untuk bertindak lebih jauh.

Kita sering bangga dengan reputasi Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia yang toleran. Tetapi jika intimidasi terhadap keyakinan-keyakinan berbeda terus dibiarkan, pujian itu akan menjadi omong kosong. Toleransi yang sejati tidak diukur dari absennya konflik besar, tetapi dari hadirnya perlindungan nyata bagi kelompok paling rentan sekalipun.

Sebagai bangsa, kita harus kembali ke prinsip dasar bahwa setiap individu berhak beribadah sesuai keyakinannya tanpa intimidasi, gangguan, atau diskriminasi sedikit pun. Kita boleh berbeda agama, tetapi semua sama sebagai warga negara yang dilindungi undang-undang.

Jangan sampai kita hanya pandai mengutip ayat tentang toleransi, tetapi gagal mewujudkannya dalam kebijakan dan perilaku sosial. Jangan sampai Indonesia dikenal dunia bukan lagi sebagai negara paling toleran, tetapi sebagai negara yang gagal menjaga warisan kebinekaan yang dulu menjadi kebanggaan pendiri bangsa.

Toleransi bukan slogan. Ia adalah amanah. Dan amanah itu hanya akan hidup jika kita berani melindungi hak-hak setiap warga tanpa pandang bulu.[]

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Jalin Kerjasama

GemaMerahPutih.com terbuka untuk kolaborasi dan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat maupun lembaga. Silahkan hubungi kami:

Jenis Kerjasama

Form Pengaduan

Silahkan tuliskan pengaduan Anda di dalam form berikut: