The Avengers-nya Indonesia: 5 Guru Bangsa Penjaga Akal Sehat di Era Digital

Oleh: KM Rijal, Penggiat Media Sosial untuk Perdamaian dan Toleransi.

KALAU kita ngobrolin Indonesia, rasanya tidak bisa lepas dari dua kata: “kaya banget”. Bukan cuma kaya sumber daya alam, tetapi juga kaya suku, bahasa, dan agama. Keberagaman ini, kalau kata buku pelajaran, adalah anugerah. Tapi jujur deh, belakangan ini “anugerah” ini rasanya sering jadi sumber drama, kan? Di media sosial, orang gampang banget tersulut emosi cuma karena beda pilihan capres, beda cara ibadah, atau bahkan beda selera musik. Polarisasi makin tajam, hoaks SARA bertebaran seperti jamur di musim hujan, dan kata “toleransi” kadang cuma jadi jargon kosong.

Rasanya, kita kayak lagi kehilangan kompas. Di tengah badai informasi dan kebencian ini, kita butuh pahlawan. Bukan pahlawan super yang bisa terbang atau ngeluarin laser dari mata, tapi pahlawan akal sehat. Pahlawan yang ngingetin kita lagi tentang esensi jadi manusia dan jadi orang Indonesia.

Untungnya, Indonesia nggak pernah kehabisan stok orang-orang hebat ini. Mereka adalah para “Guru Bangsa”, yang pemikiran dan tindakannya jadi lampu sorot di tengah kegelapan. Mereka ini kayak The Avengers-nya Indonesia, masing-masing punya “kekuatan super” yang berbeda, tapi tujuannya sama: menjaga keutuhan rumah kita bersama.

Yuk, kita kenalan lebih dalam dengan lima di antara mereka: Gus Dur, Buya Syafii Maarif, Gus Mus, Quraish Shihab, dan Romo Magnis-Suseno. Kita bakal bedah peran strategis mereka, relevansinya dengan tantangan zaman now, dan yang paling penting, apa sih yang bisa para generasi muda lakukan untuk nerusin perjuangan mereka?

1. Gus Dur: Sang Pembela yang Paling Nekat (The Captain America of Pluralism)

Kalau ada satu nama yang langsung terlintas saat kita bicara soal toleransi, sudah pasti KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Beliau ini ibarat Captain America dalam jagat pahlawan Indonesia: perisainya adalah kemanusiaan, dan keberaniannya nggak ada tandingannya.

Gus Dur punya “kekuatan super” yang namanya empati radikal. Selama hidupnya, Almarhum Gus Dur bisa merasakan penderitaan orang lain, bahkan yang keyakinannya berseberangan dengannya. Peran strategis Gus Dur adalah menjadi pendobrak. Di saat banyak orang sibuk membangun tembok “kami” versus “mereka”, Gus Dur datang dengan palu godam untuk menghancurkannya.

Gagasannya tentang “pribumisasi Islam” itu revolusioner. Intinya, Islam di Indonesia ya harus punya DNA Indonesia. Islam harus bisa berdialog dan menyatu dengan budaya lokal yang sudah ada ribuan tahun, bukan malah memberangusnya. Ini adalah cara cerdas untuk bilang bahwa menjadi Muslim dan menjadi orang Indonesia itu bukan dua hal yang harus dipertentangkan.

Aksi paling legendarisnya tentu saat menjadi presiden. Beliau dengan gagah berani mencabut aturan yang selama 32 tahun mengebiri hak-hak saudara kita dari etnis Tionghoa dan penganut Konghucu. Gus Dur nggak peduli dengan caci maki. Baginya, “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan manusia berarti merendahkan penciptanya.” Simpel, tapi menusuk.

Di zaman sekarang, tantangan kita adalah virus mayoritarianisme arogan. Ini adalah paham di mana kelompok mayoritas merasa punya hak lebih untuk mengatur segalanya, sementara yang minoritas disuruh “tahu diri”. Kita lihat ini di medsos, kan? Ada yang merasa paling berhak menentukan mana yang “Indonesia asli”, mana yang “sesuai syariat”, dan sebagainya.

Di sinilah ajaran Gus Dur menjadi super relevan. Beliau mengajarkan bahwa negara itu bukan milik satu kelompok agama atau suku. Negara adalah pelindung bagi semua warganya. Minoritas bukan cuma “numpang”, tapi mereka adalah pemilik sah rumah ini, sama seperti yang mayoritas.

Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan ke depan. Pertama, jadi “Gusdurian” di lingkungan sendiri: Nggak perlu jadi presiden dulu. Cukup dengan membela teman yang di-bully karena agamanya, atau berani menegur orang yang menyebar lelucon rasis di grup WhatsApp. Itu sudah jadi Gusdurian. Kedua, ampliifikasi suara minoritas: follow akun-akun media sosial dari tokoh atau komunitas minoritas.

Dengarkan cerita mereka, pahami perspektif mereka. Jangan biarkan suara mereka tenggelam dalam kebisingan mayoritas. Dan ketiga, pelajari humor Gus Dur: Salah satu senjata ampuh Gus Dur adalah humor. Beliau bisa mengkritik hal paling serius dengan cara yang bikin orang tertawa, bukan marah. Di dunia medsos yang tegang, belajar sedikit humor cerdas ala Gus Dur bisa mencairkan suasana.

2. Buya Syafii Maarif: Sang Negarawan Penjaga Pilar (The Iron Man of Nationalism)

Jika Gus Dur adalah pendobrak, maka Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii adalah sang arsitek penjaga pilar kebangsaan. Beliau ini kayak Tony Stark (Iron Man): seorang intelektual jenius yang menggunakan kecerdasannya untuk membangun “baju zirah” yang melindungi Indonesia dari serangan internal. Baju zirah itu bernama nasionalisme yang beretika.

Buya Syafii, peran strategisnya adalah memberikan fondasi intelektual bahwa menjadi seorang Muslim yang taat sama sekali tidak bertentangan dengan menjadi seorang nasionalis sejati. Beliau secara konsisten melawan ideologi transnasional yang ingin mengganti Pancasila.

Lewat Maarif Institute, beliau membangun kader-kader muda yang punya pemahaman Islam yang moderat dan komitmen kebangsaan yang kuat. Buya Syafii adalah suara jernih yang mengingatkan kita bahwa masalah terbesar bangsa ini seringkali bukan datang dari luar, tapi dari dalam: korupsi, ketidakadilan, dan kemunafikan para elit.

Tantangan terbesar kita saat ini adalah politik identitas yang memecah belah. Agama dan suku dijadikan alat untuk merebut kekuasaan, bukan sebagai sumber nilai. Setiap pemilu, kita selalu disuguhi narasi “pilih yang seagama”, “pilih pemimpin pribumi”, dan sejenisnya.

Pemikiran Buya Syafii adalah penawarnya. Beliau mengajarkan kita untuk menilai seseorang dari integritas dan kompetensinya, bukan dari label agamanya. Seorang pemimpin Muslim yang korup jauh lebih berbahaya daripada pemimpin non-Muslim yang jujur dan adil. Logika sederhana ini seringkali hilang di tengah hiruk pikuk politik identitas. Buya mengingatkan, “Islam jangan hanya berhenti di kulit, tapi harus menukik sampai ke jantung etika.”

Belajar dari tokoh yang wafat 22 Mei 2022 itu, kita dapat melakukan beberapa hal. Pertama, jadi pemilih cerdas: saat pemilu nanti, jangan mau terjebak politik identitas. Cari tahu rekam jejak calonnya. Apa program kerjanya? Apa prestasinya? Apakah dia bersih dari korupsi? Jadilah pemilih yang pakai data, bukan sentimen.

Kedua, fokus pada isu substansial: Daripada berdebat soal agama si calon A atau suku si calon B, mari kita dorong diskusinya ke isu yang lebih penting: lingkungan hidup, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan. Dan ketiga, dukung gerakan anti-korupsi: Korupsi adalah musuh bersama yang merusak semua sendi bangsa, tidak peduli apa agamamu. Ikuti dan dukung lembaga-lembaga seperti KPK dan organisasi masyarakat sipil yang berjuang memberantas korupsi.

3. Gus Mus: Sang Penyair Penyejuk Hati (The Doctor Strange of Wisdom)

Di tengah keributan, kita butuh sosok yang menenangkan. Itulah KH. Ahmad Mustofa Bisri, alias Gus Mus. Beliau adalah Doctor Strange-nya Indonesia: seorang mistikus, seniman, dan penyair yang punya kemampuan melihat dimensi lain dari kehidupan beragama—dimensi kesejukan, keindahan, dan kasih sayang.

Agama seringkali ditampilkan dengan wajah yang garang, penuh aturan kaku dan ancaman neraka. Peran strategis Gus Mus adalah mengembalikan wajah humanis agama. Melalui puisi-puisinya yang sederhana namun dalam, lukisannya yang ekspresif, dan ceramahnya yang penuh humor, Gus Mus mengajak kita untuk beragama dengan gembira.

Beliau tidak pernah lelah mengingatkan bahwa inti dari semua ajaran agama adalah akhlak mulia. Buat apa shalat atau ibadah rajin tapi masih suka menghina orang lain? Buat apa hafal banyak dalil tapi masih menyebar fitnah? Gus Mus “menampar” kita dengan kelembutan, mengajak kita untuk lebih banyak introspeksi daripada menghakimi.

Media sosial kita sudah sangat tercemar oleh ujaran kebencian (hate speech). Orang-orang dengan mudahnya melabeli orang lain “kafir”, “sesat”, “antek asing”, hanya karena berbeda pendapat. Algoritma media sosial bahkan ikut memperparah, karena konten yang memancing amarah cenderung lebih viral.

Kearifan Gus Mus adalah detoksnya. Beliau mengajarkan kita untuk mengendalikan lisan (dan jempol). Sebelum posting atau komentar, coba tanya diri sendiri: “Apakah ini bermanfaat? Apakah ini akan menyakiti orang lain? Apakah ini akan membuat keadaan lebih baik?” Nasehatnya sederhana: “Jika tidak bisa berkata baik, lebih baik diam.” Di era digital, ini mungkin nasehat paling relevan yang pernah ada.

Apa yang Bisa Kita Lakukan? Pertama, praktikkan “Puasa Medsos”. Sesekali, ambil jeda dari media sosial. Gunakan waktu itu untuk membaca buku, ngobrol langsung dengan teman, atau melakukan hobimu. Ini membantu menjernihkan pikiran dari polusi kebencian. Kedua, sebarkan konten positif, jadilah agen kesejukan.

Daripada ikut menyebar berita provokatif, lebih baik share karya seni, kutipan inspiratif, atau cerita-cerita kebaikan yang kamu temukan. Lawan api dengan air. Dan ketiga, belajar minta maaf. Di dunia online, gengsi seringkali terlalu tinggi untuk mengakui kesalahan. Teladani kerendahan hati Gus Mus. Jika kita salah komentar atau salah share info, jangan ragu untuk menghapus dan meminta maaf.

4. Quraish Shihab: Sang Cendekiawan Penjelas Konteks (The Professor Hulk of Tafsir)

Informasi agama yang sepotong-sepotong dan tanpa konteks itu sangat berbahaya. Di sinilah peran Prof. Dr. M. Quraish Shihab menjadi krusial. Beliau ini seperti Professor Hulk: gabungan antara kekuatan intelektual yang dahsyat dengan kepribadian yang tenang dan bijaksana. Beliau mampu menjelaskan hal-hal rumit menjadi mudah dipahami.

Banyak orang sekarang belajar agama dari kutipan gambar di Instagram atau video pendek di TikTok. Akibatnya, pemahaman mereka menjadi dangkal dan hitam-putih. Peran strategis Abi Quraish, sapaan akrabnya, adalah menjadi jembatan antara teks suci dengan konteks modern.

Melalui karyanya yang monumental, Tafsir Al-Mishbah, beliau menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah samudera ilmu yang luas, bukan kolam dangkal. Satu ayat bisa punya banyak penafsiran, dan kita harus memahami latar belakang sejarah serta tujuan utamanya (maqashid syariah) sebelum menyimpulkan sesuatu. Beliau mempopulerkan konsep Islam Wasathiyyah (jalan tengah), yaitu Islam yang moderat, seimbang, dan anti-ekstremisme.

Tantangan kita saat ini adalah tsunami hoaks berbungkus agama dan fenomena “ustadz instan” di media sosial. Orang dengan mudahnya mengutip satu ayat di luar konteks untuk membenarkan kebencian atau tindakannya.

Ilmu yang diajarkan Quraish Shihab adalah vaksinnya. Beliau membekali kita dengan kemampuan berpikir kritis terhadap informasi agama. Jangan telan mentah-mentah. Cek sumbernya. Siapa yang bicara? Apa kompetensinya? Apa konteks ayat atau hadis yang dikutip? Beliau mengajarkan kita untuk tidak berhenti pada “apa kata ayatnya”, tapi terus bertanya “apa maksud di balik ayat itu?”

Ayo kita belajar kepada Abi Quraish. Dari beliau kita juga dapat menentukan beberapa langkah penting ke depan. Pertama, Tingkatkan Literasi Digital dan Agama: Jangan malas membaca. Kalau dapat broadcast aneh di WhatsApp, jangan langsung percaya. Gunakan mesin pencari untuk cek kebenarannya. Ikuti kajian dari ulama-ulama yang jelas sanad ilmunya seperti Abi Quraish.

Kedua, biasakan bertanya “Konteksnya Apa?”: Latih diri untuk selalu bertanya soal konteks. Baik itu konteks berita, kutipan ayat, atau potongan video ceramah. Ini adalah skill dasar untuk bertahan di era post-truth. Dan ketiga, Dialog Bukan Debat Kusir: Jika ada teman yang punya pemahaman berbeda, ajak dia berdialog dengan baik. Tanyakan dasarnya, sampaikan argumenmu dengan sopan. Tujuannya bukan untuk menang, tapi untuk saling memahami.

5. Romo Magnis-Suseno: Sang Filsuf Penjaga Nurani (The Vision of Ethics)

Untuk melengkapi tim “Avengers” kita, dibutuhkan suara dari luar lingkaran mayoritas yang bisa memberikan perspektif tajam dan jernih. Itulah Romo Franz Magnis-Suseno. Beliau seperti Vision: seorang “outsider” (berasal dari Jerman) yang justru memiliki pemahaman mendalam tentang “jiwa” Indonesia dan menjadi penjaga nurani bangsa.

Sebagai seorang filsuf dan rohaniwan Katolik, peran strategis Romo Magnis adalah menjadi cermin etis bagi Indonesia. Dari posisinya, beliau bisa melihat hal-hal yang mungkin tidak kita sadari. Beliau dengan tajam mengkritik ketidakadilan, korupsi, dan kemunafikan tanpa pandang bulu.

Tulisannya tentang etika Jawa, Pancasila, dan demokrasi sangat mencerahkan. Beliau mengingatkan bahwa fondasi sebuah negara bukan hanya hukum, tapi juga etika publik. Ketika para pejabat publik kehilangan rasa malu untuk korupsi, atau ketika masyarakat membiarkan ketidakadilan terjadi di depan mata, saat itulah sebuah bangsa sedang sakit parah.

Di tengah gemerlap pembangunan dan gaya hidup digital, kita seringkali lupa pada mereka yang tertinggal. Ketimpangan sosial masih menganga lebar. Hukum terasa tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Rasa keadilan sosial dan empati kita sedang terkikis.

Suara Romo Magnis adalah pengingat yang keras. Beliau memaksa kita untuk melihat realita di luar “gelembung” kita. Apakah kita sudah adil pada asisten rumah tangga kita? Apakah kita peduli pada nasib para petani yang tanahnya digusur? Apakah kita marah ketika melihat pejabat memamerkan kekayaan haram? Romo Magnis mengajak kita untuk tidak menjadi manusia yang apatis.

Apa yang Bisa Kita Lakukan? Pertama, keluar dari “Bubble” kamu. Media sosial menciptakan “echo chamber” di mana kita hanya berinteraksi dengan orang yang sepemikiran. Sesekali, coba ikuti akun atau baca berita dari sumber yang punya pandangan berbeda. Lakukan kegiatan sosial di luar lingkunganmu untuk melihat realita lain.

Kedua, perjuangkan keadilan dari hal kecil. Keadilan sosial dimulai dari hal kecil, seperti jangan menyerobot antrean, bayar upah orang yang bekerja untukmu dengan layak dan tepat waktu, atau bela teman yang menjadi korban ketidakadilan di kampus atau tempat kerja. Dan ketiga, jadilah warga negara yang kritis. Pelajari hak-hakmu sebagai warga negara. Awasi kebijakan pemerintah di daerahmu. Jika ada yang tidak beres, jangan takut untuk bersuara melalui jalur yang benar.

Penutup: Menjahit Kembali Merah Putih di Era Digital

Gus Dur, Buya Syafii, Gus Mus, Quraish Shihab, dan Romo Magnis. Lima nama, lima “kekuatan super”, tapi satu misi mulia. Mereka telah memberikan kepada kita sebuah cetak biru (blueprint) tentang bagaimana menjadi Indonesia.

‘Warisan’ mereka bukanlah doktrin kaku yang harus dihafal, melainkan sebuah semangat: semangat untuk terus berpikir, berdialog, berempati, dan mencintai kemanusiaan tanpa syarat.

Tugas kita, generasi muda, adalah menerjemahkan semangat itu ke dalam bahasa zaman kita. Perjuangan kita mungkin bukan lagi mengangkat bambu runcing, tapi mengangkat tingkat literasi digital. Medan perang kita bukan lagi di lapangan, tapi di kolom komentar media sosial. Senjata kita bukan lagi pedang, tapi kemampuan berpikir kritis dan hati yang lapang.

Mari kita ambil perisai kemanusiaan Gus Dur, baju zirah kebangsaan Buya Syafii, mantra penyejuk Gus Mus, pisau bedah konteks Quraish Shihab, dan cermin nurani Romo Magnis. Mari kita menjadi “The Avengers” generasi kita, yang bertugas menjaga akal sehat dan merawat tenun kebangsaan yang indah ini.

Rumah ini terlalu berharga untuk kita biarkan robek oleh kebencian. Saatnya anak muda mengambil alih, bukan dengan amarah, tapi dengan kearifan yang diwariskan oleh para guru bangsa kita.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Jalin Kerjasama

GemaMerahPutih.com terbuka untuk kolaborasi dan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat maupun lembaga. Silahkan hubungi kami:

Jenis Kerjasama

Form Pengaduan

Silahkan tuliskan pengaduan Anda di dalam form berikut: