Menjaga Sikap Saling Menghargai dalam Bermasyarakat

Menjaga Sikap Saling Menghargai dalam Bermasyarakat

Kasus pelarangan ibadah keluarga di Kota Bekasi tahun 2024 kembali membuka luka lama tentang toleransi beragama di Indonesia. Aldo, warga yang kediamannya dipakai untuk doa bersama oleh komunitas kecil GMIM, mengaku dihalangi oleh seorang ASN yang meminta kegiatan itu dihentikan.

Ibadah tersebut bukan dilakukan di gereja besar atau lapangan umum. Hanya sebuah rumah pribadi, tempat 8-10 orang berkumpul dalam kesederhanaan untuk menyampaikan syukur dan permohonan doa. Namun, justru di ruang privat inilah, hak mereka untuk beragama diuji.

Pelarangan itu memantik reaksi publik karena menyentuh prinsip paling mendasar: kebebasan beragama dan beribadah. Dalam konstitusi Indonesia, hak ini dilindungi tanpa syarat. Bahkan di rumah sekalipun, tidak ada aturan yang melarang warga berdoa bersama keluarganya.

Abdullahi Ahmed An-Na’im, pemikir Muslim Sudan yang kini menjadi profesor hukum di Emory University, menyebutkan dalam bukunya Islam and the Secular State (2007) bahwa “agama hanya tumbuh sehat dalam ruang kebebasan.” Ia menekankan pentingnya negara menjaga jarak dari penindasan terhadap praktik keagamaan, sekecil apapun bentuknya.

Larangan semacam ini, meskipun datang dari seorang ASN dan bukan kebijakan resmi, tetap berpotensi membahayakan tatanan sosial. Ia menunjukkan bahwa masih ada pandangan di tengah masyarakat yang mempersoalkan hak kelompok minoritas untuk mengekspresikan imannya, bahkan di ruang privat.

Ironisnya, ketika negara berkali-kali menggaungkan slogan toleransi, kasus-kasus seperti ini justru menjadi noda di tengah upaya merawat kebhinekaan. Apakah hak konstitusional hanya berlaku bagi mayoritas; ataukah ia seharusnya melindungi semua warga negara tanpa kecuali?

Aldo menegaskan bahwa kegiatan doa ini telah dikomunikasikan dengan RT/RW setempat, bahkan mendapat persetujuan informal dari suami ASN yang kemudian mempersoalkannya. Tidak ada keributan, tidak ada pengeras suara yang mengganggu tetangga, hanya suara-suara lirih yang memanjatkan doa.

Fazlur Rahman Malik, intelektual Pakistan, pernah menekankan bahwa masyarakat modern harus berani melampaui sekat-sekat primordial. Baginya, “masyarakat yang sehat adalah yang memberi ruang bagi semua warga untuk menjalankan iman tanpa ketakutan.” Pandangan ini relevan dengan konteks Indonesia hari ini.

Pihak Pemkot Bekasi melalui Pj. Wali Kota berjanji akan menyelidiki masalah ini dan memanggil semua pihak terkait. Langkah ini patut diapresiasi, namun lebih penting lagi adalah memastikan kejadian serupa tidak berulang dengan dalih apapun.

Jika praktik doa bersama di rumah sendiri bisa dipermasalahkan, lalu di manakah lagi warga minoritas dapat melaksanakan ibadah; apakah mereka harus menyembunyikan keyakinan mereka hanya untuk menghindari konflik dengan tetangga?

Dalam ajaran Islam sendiri, prinsip menghormati keyakinan orang lain sangat jelas. Al-Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 6 menyatakan, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Pesan ini seharusnya menjadi fondasi dalam interaksi masyarakat yang majemuk.

Sayangnya, prinsip itu sering kalah oleh tafsir sempit sebagian kelompok. Mereka merasa berhak mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang lain, bahkan dalam urusan yang tidak berdampak langsung pada dirinya.

Kita harus bertanya jujur: apakah Indonesia, dengan Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, akan terus membiarkan praktik intoleransi seperti ini; ataukah kita siap mengambil langkah nyata untuk memastikan semua warga negara memiliki hak yang sama?

Mohammad Hashim Kamali, pakar hukum Islam asal Afghanistan, dalam bukunya Freedom, Equality and Justice in Islam (2002) menulis: “Keadilan dalam Islam adalah keadilan yang berlaku universal, tanpa dibatasi oleh sekat agama, suku, atau kelas sosial.” Spirit ini harusnya menjadi etos bangsa.

Masalah di Bekasi ini lebih dari sekadar sengketa rumah ibadah. Ia adalah ujian tentang seberapa dalam komitmen kita terhadap hak asasi manusia. Apakah kita akan tunduk pada tekanan kelompok yang takut pada perbedaan, atau kita memilih jalan moderasi yang membebaskan?

Pemerintah pusat dan daerah harus menegaskan bahwa rumah warga adalah ruang privat yang dilindungi hukum. Tidak ada satu pun aparat atau ASN yang berhak membubarkan doa bersama hanya karena tidak sesuai dengan keyakinannya.

Sekolah-sekolah pun harus mengajarkan nilai-nilai kebhinekaan sebagai pilar hidup bersama. Pendidikan yang gagal menanamkan empati hanya akan melahirkan generasi yang melihat perbedaan sebagai ancaman, bukan kekayaan.

Kasus Bekasi juga harus menjadi momentum bagi semua tokoh agama untuk bersuara lantang. Ulama, pendeta, dan pemuka agama lain harus bahu-membahu mengingatkan masyarakat bahwa negara ini berdiri di atas darah semua anak bangsa, bukan hanya kelompok tertentu.

Jika tidak, kita hanya akan menyaksikan lebih banyak rumah ibadah dipersoalkan, lebih banyak kegiatan doa dibubarkan, dan lebih banyak warga minoritas dipaksa memendam imannya dalam diam.

Aldo sendiri menyatakan harapannya agar pemerintah menjamin hak keluarganya untuk beribadah. Harapan sederhana ini seharusnya tidak sulit diwujudkan dalam negara yang mengaku demokratis dan religius sekaligus.

Kasus pelarangan ibadah di rumah di Bekasi adalah cermin rapuhnya toleransi kita. Indonesia harus membuktikan bahwa ia adalah rumah bagi semua keyakinan, bukan hanya milik satu kelompok mayoritas.

Sebagaimana Abdullahi An-Na’im pernah mengingatkan: “Agama akan kehilangan maknanya jika dipaksa sembunyi. Kebebasan adalah syarat mutlak bagi iman yang otentik.” Mari kita jaga rumah-rumah warga sebagai tempat aman untuk iman, bukan ladang konflik yang menodai kemanusiaan.[]

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Jalin Kerjasama

GemaMerahPutih.com terbuka untuk kolaborasi dan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat maupun lembaga. Silahkan hubungi kami:

Jenis Kerjasama

Form Pengaduan

Silahkan tuliskan pengaduan Anda di dalam form berikut: