Perlindungan Hukum terhadap Tempat Ibadah dan Kegiatan Keagamaan

Perlindungan Hukum terhadap Tempat Ibadah dan Kegiatan Keagamaan

Gus Miftah dalam acara di Bantul, Yogyakarta

Kontroversi tentang pasal penodaan agama kembali mengemuka seiring dengan disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku efektif pada 2026. Meski pasal “penodaan agama” dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 telah diganti dengan rumusan baru, kritik tetap mengalir deras dari berbagai kalangan.

Banyak pihak menilai bahwa pasal itu tetap membuka ruang multitafsir dan rentan disalahgunakan untuk menjerat kelompok-kelompok minoritas agama maupun mereka yang berbeda pandangan.

Di atas kertas, pasal ini tampak seolah melindungi kesucian agama-agama dari penghinaan. Namun dalam praktiknya, pasal penodaan agama lebih sering menjadi alat represi terhadap ekspresi keyakinan yang dianggap menyimpang atau bertentangan dengan pandangan mayoritas.

Kasus-kasus yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa pasal tersebut kerap digunakan bukan untuk menjaga ketertiban publik, melainkan untuk mengkriminalisasi perbedaan dan meminggirkan kelompok yang rentan.

Masalah mendasar dari pasal penodaan agama terletak pada sifatnya yang sangat lentur—apa yang dimaksud dengan “penodaan” tidak pernah didefinisikan secara tegas dalam hukum positif Indonesia. Ruang abu-abu ini membuka peluang bagi aparat penegak hukum, maupun kelompok intoleran, untuk menafsirkan secara subyektif.

Ketidakjelasan ini jelas melanggar prinsip kepastian hukum (lex certa) yang menjadi pilar dalam negara hukum demokratis. Berkali-kali pasal ini digunakan untuk membungkam minoritas agama, seperti komunitas Ahmadiyah, Syiah, penghayat kepercayaan, bahkan individu yang sekadar menyampaikan pandangan berbeda tentang ajaran agama tertentu.

Kasus Meiliana di Tanjung Balai tahun 2018, misalnya, menunjukkan bagaimana keluhan seorang warga tentang volume pengeras suara masjid bisa berujung pada vonis penjara dua tahun karena dianggap menodai agama.

Lebih dari sekadar masalah hukum, praktik semacam ini menciptakan atmosfer ketakutan yang menggerogoti kebebasan beragama dan berekspresi. Alih-alih melindungi masyarakat, pasal ini justru membahayakan hak konstitusional warga negara.

Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 270 juta jiwa dengan keberagaman agama, keyakinan, dan budaya. Ironisnya, di negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini, tafsir keagamaan yang sempit sering kali dijadikan pembenaran untuk menindas perbedaan.

Padahal, ajaran Islam sejatinya menjunjung tinggi kebebasan beragama.Khaled Abou El Fadl, seorang sarjana hukum Islam terkemuka dari UCLA, menegaskan bahwa “iman yang dipaksakan tidak pernah menjadi iman sejati.”

Menurut Khaled Abou El Fadl, kebebasan beragama bukan hanya hak asasi manusia, tetapi juga nilai inti dalam ajaran Islam. Pemaksaan atau intimidasi untuk memeluk keyakinan tertentu, kata Abou El Fadl, bertentangan dengan pesan Alquran tentang la ikraha fid-din (tidak ada paksaan dalam beragama).

Louay M. Safi, intelektual Muslim yang dikenal dengan gagasan Islam dan demokrasi, menekankan bahwa keberagaman adalah keniscayaan sosial yang harus dipelihara, bukan dipandang sebagai ancaman.

“Pluralisme,” menurut Louay M. Safi, “adalah bagian dari maqashid syariah (tujuan syariat Islam) untuk menjaga kehidupan, kebebasan, dan martabat manusia.”

Dua pemikiran ini selaras dengan Deklarasi Marrakesh (2016), yang ditandatangani oleh lebih dari 250 ulama dan cendekiawan Muslim dunia. Deklarasi ini secara eksplisit mendukung hak-hak minoritas agama di negara-negara mayoritas Muslim dan menyerukan negara untuk melindungi kebebasan berkeyakinan sebagai mandat moral dan politik.

Sayangnya, pesan-pesan universal ini jarang dijadikan acuan dalam perumusan kebijakan di Indonesia. Populisme mayoritarian kerap kali menjadi faktor yang lebih dominan daripada pertimbangan etika dan hak asasi manusia.

Membiarkan pasal karet penodaan agama tetap bercokol berarti melanggengkan ketidakadilan struktural. Setidaknya ada tiga alasan mendesak mengapa pasal ini harus segera direformasi.

Pertama, dari perspektif konstitusional, pasal ini bertentangan dengan Pasal 28E UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta Pasal 28I yang melindungi hak asasi manusia sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Kedua, secara sosial-politik, pasal ini menciptakan ketegangan horizontal antara kelompok mayoritas dan minoritas, yang jika dibiarkan akan menggerogoti kohesi sosial. Diskriminasi yang dilembagakan adalah benih konflik yang bisa meledak kapan saja.

Ketiga, secara moral, negara tidak boleh memihak pada satu tafsir keagamaan tertentu atau menjadi “hakim iman” bagi warga negaranya. Dalam negara demokratis, tugas negara adalah melindungi semua keyakinan, bukan menghukum perbedaan.

Reformasi pasal penodaan agama harus dimulai dengan penyusunan ulang rumusan hukum yang lebih jelas dan spesifik. Jika negara ingin tetap mengatur ujaran kebencian, maka definisinya harus dibatasi pada ekspresi yang secara langsung memicu kekerasan terhadap individu atau kelompok tertentu, bukan sekadar melindungi “perasaan” agama.

Prinsip nullum crimen sine lege (tidak ada kejahatan tanpa hukum yang jelas) harus ditegakkan agar hukum tidak berubah menjadi alat kekuasaan atau mayoritas.

Selain itu, pendidikan publik tentang toleransi dan pluralisme harus diperkuat. Ormas-ormas Islam besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memiliki peran penting dalam mengkampanyekan pemahaman Islam yang ramah dan menghargai perbedaan.

Moderasi beragama harus diwujudkan dalam kebijakan publik, bukan hanya menjadi slogan. Pasal penodaan agama adalah warisan hukum kolonial yang sudah waktunya ditinggalkan.

Di tengah kompleksitas masyarakat Indonesia yang majemuk, pasal ini lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat. Negara harus berani mereformasi regulasi yang diskriminatif dan memastikan bahwa semua warga, tanpa kecuali, dapat hidup dengan keyakinannya tanpa rasa takut.

Indonesia punya potensi menjadi teladan dunia dalam merawat keberagaman. Namun, potensi ini akan sia-sia jika kita tetap memelihara hukum yang menindas perbedaan.

Reformasi pasal penodaan agama bukan hanya soal teknis hukum, tetapi tentang komitmen kita pada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kebebasan yang sejati. Kalimat bijak dari Abou El Fadl layak menjadi renungan: “Keadilan adalah inti syariat; jika keadilan hilang, maka syariat telah kehilangan ruhnya.”[]

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Jalin Kerjasama

GemaMerahPutih.com terbuka untuk kolaborasi dan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat maupun lembaga. Silahkan hubungi kami:

Jenis Kerjasama

Form Pengaduan

Silahkan tuliskan pengaduan Anda di dalam form berikut: