Perayaan 1 Abad Peradaban Tanah Papua, Toleransi dari Teluk Wondama

DARI pesisir Miei yang teduh di bawah langit biru Teluk Wondama, perayaan 1 Abad Peradaban di Tanah Papua berlangsung khidmat dan hangat, Sabtu (25/10/2025).

Tak hanya umat Kristen yang bersyukur, umat Islam pun ikut menyiapkan tempat dan tenaga. Di sinilah, harmoni antariman di Tanah Papua menemukan wajah paling tulusnya.

“Perayaan ini berlangsung dengan lancar bukan karena kerja satu pihak, bukan karena kerja satu agama, tetapi karena kerja sama semua pihak, dari seluruh denominasi agama yang ada di Teluk Wondama. Ini luar biasa,” ujar Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Papua Barat, Luksen Jems Mayor, dengan nada haru.

Ia menyebut Teluk Wondama sebagai “kota yang penuh dengan keakraban dan persatuan.” Di sini, kata Luksen, warganya hidup dalam semangat gotong royong yang melampaui sekat keagamaan

“Karya nyata kerukunan, kekeluargaan, dan kebersamaan sangat nampak di Wondama. Inilah wajah Papua yang sesungguhnya,” katanya.

Lima Belas Ribu Jiwa dalam Satu Irama Damai

Perayaan satu abad peradaban di situs bersejarah Aitumeri, Miei, dihadiri lebih dari 15 ribu orang. Mereka datang dari berbagai pelosok Tanah Papua, dari Biak hingga Manokwari, dari Pegunungan Arfak hingga Nabire.

Namun yang paling berkesan bagi Luksen bukanlah kemegahan acaranya, melainkan kehangatan kebersamaan antarumat beragama.

“Spirit kebersamaan lintas agama sungguh luar biasa. Lima belas ribu orang hadir dan merasakan kedamaian di kota ini, berdampingan satu sama lain,” tuturnya.

Ia menegaskan, kebersamaan semacam itu harus terus dijaga sebagai fondasi membangun Tanah Papua.

“Melalui perayaan ini, masyarakat Teluk Wondama harus terus saling menerima dan hidup berdampingan dalam damai. Itulah kekuatan sejati Papua,” ujarnya.

Muslim dan Kristen di Satu Rumah

Ketulusan toleransi itu juga diakui Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Teluk Wondama, H. Abudin Ohoimas. Meski perayaan ini adalah hajat besar umat Kristen, namun komunitas Muslim setempat ikut ambil bagian sejak awal persiapan.

“Kami ikut terlibat dengan menyiapkan beberapa tempat tinggal seperti di Sekolah Yapis yang dihuni oleh jemaat GKI dari Pulau Biak,” terang Abudin.

Ia menegaskan, toleransi sejati bukan hanya teori atau wacana yang diucapkan di atas mimbar, melainkan tindakan nyata dalam keseharian.

“Toleransi itu bukan sekadar dibicarakan lewat mulut, tapi ditunjukkan lewat sikap dan perbuatan. Kita di Wondama hidup berdampingan, hidup sebagai satu keluarga,” ujarnya tegas.

Cahaya dari AitumeriSitus Aitumeri di Miei memiliki makna khusus bagi masyarakat Papua. Dari sinilah jejak peradaban modern di Tanah Papua dimulai — tempat misi pendidikan dan penginjilan pertama kali ditanam lebih dari seabad lalu.

Kini, seratus tahun kemudian, tempat itu kembali menjadi saksi perjalanan panjang masyarakat Papua menuju kedewasaan beragama dan kemanusiaan.

Luksen Jems Mayor menyebut perayaan ini bukan sekadar nostalgia, melainkan refleksi masa depan.

“Seratus tahun peradaban harus kita isi dengan semangat baru: membangun Papua dari hati, dalam damai, dan dalam persaudaraan sejati,” ujarnya.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Jalin Kerjasama

GemaMerahPutih.com terbuka untuk kolaborasi dan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat maupun lembaga. Silahkan hubungi kami:

Jenis Kerjasama

Form Pengaduan

Silahkan tuliskan pengaduan Anda di dalam form berikut: