Oleh: KH Miftah Maulana Habiburrahman (Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama)
Insiden di Cidahu, Sukabumi, pada 27 Juni 2025 lalu, menyesakkan dada kita. Sebuah rumah pribadi yang digunakan untuk kegiatan ibadah dirusak oleh sekelompok warga. Kejadian ini, sekali lagi, menguji ketahanan kerukunan yang selama ini kita banggakan sebagai bangsa majemuk.
Padahal kontitusi kita dan pemerintah Republik Indonesia sangat serius menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi seluruh warga negaranya. Hak ini, yang secara eksplisit termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, adalah hak fundamental yang tak boleh dikurangi atau dihalangi oleh siapapun.
Apa yang terjadi di Cidahu bukan sekadar insiden biasa, basa-basi publik, kecelekaan sosial sesaat; ini adalah cermin “retak” kita dari tantangan yang kerap kita hadapi dalam menjaga keharmonisan. Terlepas dari dugaan penyebab dan kronologinya, tindakan perusakan, apalagi yang menyasar rumah yang digunakan ibadah, tidak bisa dibenarkan.
Kekerasan bukanlah solusi dalam demokrasi kita. Bangsa ini dibangun di atas semangat musyawarah, dialog, dan persaudaraan. Setiap persoalan harus diselesaikan melalui jalur hukum dan mekanisme yang berlaku, bukan dengan aksi main hakim sendiri.
Kita patut mengapresiasi respons cepat aparat kepolisian dalam menangani kasus ini, termasuk penetapan tersangka. Ini bukti bahwa negara hadir dan tak akan mentolerir tindakan anarkis yang merusak tatanan sosial serta kerukunan umat beragama. Penghargaan juga patut diberikan kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah daerah yang sigap meredakan situasi dan mengupayakan perdamaian.
Pelajaran Berharga untuk Masa Depan
Kerja kita belum usai. Insiden di Cidahu harus menjadi momentum untuk merefleksikan dan memperkuat fondasi kerukunan di tengah masyarakat. Mari kita petik pelajaran berharga dari peristiwa ini:
Pertama, Pentingnya Dialog dan Komunikasi. Banyak konflik berawal dari miskomunikasi dan prasangka. Sebelum bertindak, mari kita membiasakan diri untuk berdialog, berdiskusi, dan mencari pemahaman bersama. Transparansi dalam setiap kegiatan keagamaan, bahkan di ruang privat sekalipun, dapat mencegah kesalahpahaman.
Kedua, Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil. Pemerintah berkomitmen untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum ditindak tegas, tanpa pandang bulu. Kepercayaan publik terhadap supremasi hukum adalah kunci untuk mencegah tindakan anarkis.
Ketiga, Peran Krusial Tokoh Agama dan Masyarakat. Para pemimpin agama dan masyarakat memiliki tanggung jawab besar dalam menyejukkan suasana, menyebarkan nilai-nilai toleransi, dan menjadi garda terdepan dalam menjaga keharmonisan. Mereka adalah jembatan penghubung yang vital.
Keempat, Optimalisasi Fungsi FKUB. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) harus terus diperkuat sebagai wadah dialog dan mediasi yang efektif di tingkat lokal. Dengan demikian, potensi konflik dapat dicegah sejak dini melalui komunikasi yang inklusif.
Kelima, Evaluasi Aturan Bersama. Jika ada aturan atau regulasi yang dirasa memberatkan atau justru memicu konflik, seperti Peraturan Bersama Menteri yang terkait dengan pendirian rumah ibadah, sudah saatnya kita evaluasi secara konstruktif. Tujuannya adalah mencari solusi terbaik yang dapat menjamin hak beribadah tanpa mengabaikan ketertiban umum dan dinamika sosial.
Merawat Bhinneka Tunggal Ika
Indonesia adalah rumah kita bersama, tempat bersemayamnya beragam suku, budaya, dan agama. Kekuatan sejati bangsa ini terletak pada keberagaman yang terbingkai dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. Jangan biarkan perbedaan menjadi alasan untuk saling membenci, apalagi merusak. Mari kita terus rawat dan jaga tenun kebangsaan ini dengan cinta, toleransi, dan semangat persaudaraan sejati.
Bersama-sama, kita wujudkan Indonesia yang aman, damai, dan harmonis, di mana setiap warga negara dapat menjalankan keyakinan dan ibadahnya dengan tenang dan damai, dalam bingkai persatuan yang kokoh.