Indonesia adalah negeri yang dibangun di atas keberagaman. Dari Sabang hingga Merauke, kita disatukan bukan oleh keseragaman, melainkan oleh semangat gotong royong dan toleransi yang menjadi napas kebangsaan. Dalam konstitusi kita, semangat ini diabadikan dengan tegas melalui Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal ini bukan sekadar rangkaian kata hukum. Ia adalah cermin jiwa bangsa. Namun sayangnya, dalam realitas hari ini, kita masih sering melihat berita tentang rumah ibadah yang dibakar, pelarangan mendirikan tempat ibadah, stigma terhadap kelompok kepercayaan, dan ujaran kebencian berbasis agama yang berseliweran di media sosial. Semua ini mencederai semangat konstitusi dan nilai luhur Pancasila.
Pasal ini mengandung makna mendalam bahwa negara bukan hanya tidak boleh menghalangi kebebasan beragama, tetapi wajib hadir untuk menjamin kebebasan itu. Negara, aparat, dan masyarakat wajib menciptakan ruang yang aman dan setara bagi setiap pemeluk agama dan kepercayaan untuk beribadah dan menjalani keyakinannya.
Konstitusi tidak memberi ruang untuk dominasi satu kelompok atas kelompok lain. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa hak beragama adalah hak dasar yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun.
Intoleransi yang Menggerogoti Persatuan
Masalah intoleransi bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga refleksi dari sikap sosial kita. Saat sebagian masyarakat menganggap wajar pelarangan ibadah agama lain, atau saat perbedaan keyakinan menjadi alasan untuk memutus silaturahmi, di sanalah nilai pasal 29 ayat 2 mulai luntur dalam praktik.
Intoleransi bukan hanya soal kekerasan fisik; seringkali ia hadir dalam bentuk bisu, seperti diamnya kita saat melihat diskriminasi, atau sikap acuh saat hoaks berbau SARA beredar tanpa perlawanan.
Kita tidak boleh menyerah pada kondisi ini. Justru di sinilah pentingnya kesadaran kolektif. Kita sebagai masyarakat sipil, pemuka agama, tokoh pendidikan, jurnalis, dan pemimpin lokal, punya tanggung jawab moral untuk terus menumbuhkan semangat toleransi, mengedepankan dialog, dan menolak segala bentuk kekerasan serta diskriminasi berbasis agama.
Mari kita kembali menengok nilai-nilai yang diwariskan para pendiri bangsa. Mari kita jaga warisan berharga itu dengan saling menghormati, mendukung rumah ibadah berdiri berdampingan, dan merayakan perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman.
Karena pada akhirnya, tidak ada bangsa yang besar tanpa kedewasaan dalam menyikapi keberagaman. Dan tidak ada kemerdekaan sejati jika satu saja warga masih merasa takut menjalankan keyakinannya.
Indonesia adalah rumah bagi semua. Dan rumah ini hanya akan kuat jika setiap penghuninya merasa aman, setara, dan dihormati.[JA]