Perbedaan Keyakinan dan Keragaman itu Sunnatullah

perbedaan keyakinan dan keberagaman itu sunnatullah

Doc: Gus Miftah

Setara Institute baru saja merilis Indeks Kota Toleran (IKT) 2024. Hasilnya mengejutkan sekaligus menyedihkan: sepuluh kota besar menempati peringkat terbawah sebagai kota paling intoleran di Indonesia.

Dalam daftar itu ada nama-nama yang tak asing: Parepare, Cilegon, Lhokseumawe, Banda Aceh, Pekanbaru, Bandar Lampung, Makassar, Ternate, Sabang, dan Pagar Alam.

Sebagian kepala daerah merespons dengan defensif. Ada yang menyebut pemeringkatan itu tidak adil karena kota mereka “baik-baik saja” dan “tidak ada konflik agama.” Namun justru di situlah persoalannya: kita menganggap toleransi hanya sebatas tidak adanya kerusuhan.

Padahal, toleransi yang sehat bukanlah sekadar ketiadaan konflik, melainkan kehadiran ruang aman bagi semua warga untuk hidup, beribadah, dan mengekspresikan keyakinannya tanpa rasa takut.

Jika ukuran keberagaman hanya diukur dari “sepi konflik,” maka kita abai terhadap intoleransi yang laten: diskriminasi halus, pengucilan sosial, hingga pembiaran terhadap aturan yang tidak adil bagi kelompok minoritas.

Indeks Kota Toleran sejatinya tidak hanya menilai ada tidaknya konflik keagamaan. Justru harus memotret keberpihakan pemerintah kota terhadap kelompok minoritas, sejauh mana regulasi daerah menjamin kebebasan beragama, dan apakah ada ruang dialog yang terbuka antara warga yang berbeda keyakinan.

Dalam banyak kasus, kota-kota yang masuk peringkat bawah bukan karena masyarakatnya agresif, melainkan karena kepemimpinan daerahnya pasif. Cilegon, misalnya, hingga kini belum pernah mengizinkan pembangunan satu pun gereja.

Di Aceh, syariat Islam diterapkan secara ketat tanpa diimbangi perlindungan memadai bagi pemeluk agama lain. Di kota-kota seperti Makassar dan Ternate, tidak ada inovasi atau program nyata yang dapat mendorong harmoni lintas iman.

Sementara itu, pendidikan yang seharusnya menjadi benteng terakhir pembelajaran empati justru gagal memupuk kepekaan terhadap sesama manusia yang berbeda keyakinan. Generasi muda yang tumbuh tanpa pengalaman bersinggungan dengan perbedaan akan mudah curiga, bahkan menolak, keberagaman.

Ironisnya, intoleransi ini justru tumbuh subur di negeri yang warganya sangat religius. Setiap sudut kota dipenuhi rumah ibadah, suara azan bersahutan dari masjid-masjid, tetapi ajaran Islam tentang kasih, penghormatan, dan persaudaraan seolah terlepas dari kehidupan sehari-hari.

Syekh Ahmad Thayyib, Grand Syaikh Al-Azhar, pernah mengingatkan bahwa perbedaan agama adalah sunnatullah. Tuhan menciptakan manusia dengan keragaman agar mereka saling mengenal, bukan saling mengingkari. Grand Syaikh pernah mengatakan, “Barang siapa memaksa orang lain dalam agama, ia telah melawan kehendak Allah.”

Begitu pula Tariq Ramadan, cendekiawan Muslim Eropa, menyebut bahwa pluralitas adalah ujian spiritual yang mengajarkan manusia untuk bersikap rendah hati di hadapan Allah, sebab hanya Tuhan yang berhak menilai iman manusia.

Jika kesadaran religius bahwa keberagaman adalah ciptaan Tuhan benar-benar dihayati, kita tak akan sibuk menghakimi keyakinan orang lain, apalagi menutup akses mereka untuk beribadah. Kesadaran semacam ini akan mendorong semua pihak, terutama pemerintah kota, untuk menjamin keadilan dan rasa aman bagi siapa pun tanpa memandang keyakinan.

Membangun kota yang toleran tentu tidak mudah. Pemerintah daerah harus menyusun aturan yang secara aktif melindungi hak-hak warga, bukan sekadar membiarkan masyarakat berjalan tanpa panduan yang jelas. Pendirian rumah ibadah harus difasilitasi sesuai hukum, bukan dipersulit karena tekanan kelompok mayoritas.

Sekolah dan rumah ibadah pun perlu mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahmat, bukan ancaman. Pendidikan toleransi harus diterapkan sejak dini agar generasi mendatang tumbuh dengan kesadaran bahwa keragaman adalah anugerah, bukan bahaya.

Pemimpin daerah—dari wali kota hingga lurah—dituntut menjadi teladan keberagaman, bukan justru aktor yang tunduk pada kelompok intoleran. Keberanian mengambil kebijakan yang inklusif, meski tidak populer, adalah ujian kepemimpinan moral.

Di sisi lain, ruang publik harus dihidupkan kembali sebagai tempat perjumpaan lintas iman. Dialog, festival budaya, dan gotong royong komunitas dapat menjadi jembatan untuk memecah stereotip dan menumbuhkan simpati di antara kelompok yang berbeda.

Indonesia kita sedang diuji: apakah kita mampu membuktikan bahwa slogan “Bhinneka Tunggal Ika” bukan sekadar pajangan. Jika sepuluh kota ini terus abai, intoleransi akan merambat ke kota-kota lain. Cepat atau lambat, kita semua akan memetik buah pahitnya: retaknya kepercayaan sosial, konflik horizontal, dan hancurnya kebinekaan yang selama ini kita banggakan. Agama yang sejati tak mungkin merestui penindasan, bahkan kepada satu jiwa sekalipun. Jika kita mengaku religius tetapi merayakan intoleransi, barangkali kita harus bertanya: agama siapa yang sebenarnya kita bela? Di sinilah kesadaran religius harus hadir. Perbedaan keyakinan adalah ciptaan Tuhan, dan menghinakan perbedaan berarti menentang kehendak-Nya.[GM]

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Jalin Kerjasama

GemaMerahPutih.com terbuka untuk kolaborasi dan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat maupun lembaga. Silahkan hubungi kami:

Jenis Kerjasama

Form Pengaduan

Silahkan tuliskan pengaduan Anda di dalam form berikut: