WAKIL Presiden Gibran Rakabuming Raka meluangkan waktu untuk bertemu tokoh-tokoh gereja dan pemuda Kristen, Senin pagi, 4 Agustus 2025. Agenda yang digelar di Kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat itu bukan sekadar silaturahmi protokoler, tetapi mencerminkan arah baru pemerintahan Prabowo-Gibran dalam mengelola kebinekaan.
Didampingi sejumlah staf, Gibran disambut hangat oleh Ketua Umum PGI, Pdt. Jacky Manuputty, dan Ketua Umum Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI). Dalam pertemuan tertutup yang berlangsung selama lebih dari satu jam itu, Gibran membahas pentingnya toleransi hingga mendengarkan adanya distribusi guru agama masih minim di daerah terpencil.
“Kami tadi membahas persoalan intoleransi, beberapa kasus yang merebak belakangan ini. Kita punya concern bersama agar rajutan kebangsaan tetap kuat,” ujar Pdt. Jacky kepada wartawan seusai pertemuan.
Ia menekankan, negara harus hadir sebelum dan sesudah konflik bernuansa agama terjadi. Tidak hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk merawat korban, terutama anak-anak. “Kasus-kasus intoleransi harus ditangani maksimal, baik dari aspek hukum maupun perundang-undangan,” ungkapnya.
Pernyataan itu diamini Gibran. Dalam gaya komunikasinya yang tenang dan terbuka, Wapres muda ini tak hanya mendengar, tapi juga merespons baik.
Ia menyatakan akan mendorong kementerian terkait dan pemerintah daerah untuk lebih serius mengatasi kelangkaan guru agama. Bukan sekadar pemenuhan kuota, tapi untuk mencegah potensi salah paham lintas keyakinan sejak usia dini.
PGI menyambut langkah Gibran sebagai bentuk konsistensi. Saat menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gibran dikenal akrab dengan komunitas lintas agama. Ia bahkan tak ragu hadir berdialog dengan pemuka lintas iman. “Komitmen Pak Wapres sangat kuat ya, belajar dari pengalamannya ketika di Solo juga,” ujar Jacky.
Namun, Gibran menyadari, “tidak semua tempat sama, treatment-nya harus berbeda,” sebagaimana ia ungkapkan dalam pertemuan itu. Artinya, pendekatan terhadap intoleransi harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masing-masing daerah.
Dalam konteks yang lebih luas, langkah ini adalah refleksi dari garis kebijakan Presiden Prabowo Subianto. Sang Presiden berulang kali menyatakan bahwa kemakmuran bangsa tak cukup hanya dengan stabilitas ekonomi atau ketahanan militer, melainkan juga membutuhkan kerukunan sosial yang otentik. Juga, negara hadir langsung di titik-titik rawan gesekan.
Isu paling sensitif yang dibahas dalam pertemuan itu adalah soal trauma. Pdt. Jacky menyebut, korban-korban intoleransi kerap terlupakan. “Mereka tidak hanya butuh keadilan, tapi juga pemulihan,” katanya.
Ia mencontohkan perlunya pendekatan psikososial bagi anak-anak yang menjadi saksi kekerasan atau penolakan terhadap rumah ibadah.
Gibran disebut menyambut gagasan itu dengan serius. Bahkan, ada pembicaraan soal kemungkinan kolaborasi antara lembaga keagamaan dan negara untuk menyusun program “rekonstruksi sosial” di daerah-daerah terdampak.
Tak kalah penting, PGI menagih komitmen soal regulasi. Mereka berharap pertemuan ini bisa mengarah pada dorongan legislasi anti-diskriminasi yang lebih tegas. “Kehadiran negara tak cukup hanya lewat ucapan belasungkawa, tetapi juga dalam bentuk aturan yang melindungi,” tegas Jacky.
Pertemuan itu juga dihadiri oleh Plt. Sekretaris Wapres Al Muktabar serta Deputi SDM Dadan Wildan. Keduanya aktif mencatat sejumlah usulan, dari reformasi distribusi guru agama, pelatihan toleransi berbasis komunitas, hingga usulan lembaga mediasi sosial di tiap provinsi.
Kehadiran Wapres di kantor PGI menandakan bahwa pemerintah ingin bersentuhan langsung dengan suara-suara minoritas. PGI pun berharap agar pertemuan ini tak sekadar seremoni. Mereka menunggu langkah nyata dalam waktu dekat, termasuk lewat instruksi presiden atau kolaborasi lintas kementerian. “Yang pasti, kita akan kawal bersama. Ini bukan hanya soal umat Kristen, tapi masa depan toleransi bangsa ini,” kata Jacky.