Dekonstruksi Paradigma Pendidikan: Ikhtiar Sistemik Mencegah Ekstremisme di Ruang Kelas

Oleh: Abdul Waidl, Pemerhati Sosial Keagamaan

Pendahuluan: Urgensi Ekstremisme sebagai Krisis Pendidikan

Penetapan intoleransi dan ekstremisme sebagai salah satu dari “Tiga Dosa Besar Pendidikan” di Indonesia—bersama dengan kekerasan seksual dan perundungan—merupakan sebuah pengakuan institusional yang krusial. Kebijakan ini menandai pergeseran persepsi, dari yang semula memandang ekstremisme sebagai ancaman eksternal semata, menjadi sebuah kesadaran bahwa institusi pendidikan itu sendiri dapat menjadi arena kontestasi ideologi yang rentan terhadap infiltrasi paham radikal.

Laporan dari berbagai lembaga riset, seperti yang dirilis oleh Setara Institute maupun Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dalam beberapa tahun terakhir, secara konsisten menunjukkan adanya paparan dan bahkan simpati terhadap gagasan intoleran dan radikal di kalangan siswa dan mahasiswa (PPIM UIN Jakarta, 2018).

Fenomena ini menghadirkan sebuah tantangan fundamental bagi dunia pendidikan. Pendidikan, yang secara teoretis berfungsi sebagai wahana transmisi nilai-nilai kebangsaan, perdamaian, dan kemanusiaan, dalam praktiknya dapat berbalik fungsi menjadi medium reproduksi eksklusivisme dan kebencian. Paulo Freire (1970) dalam karyanya yang monumental, Pedagogy of the Oppressed, mengingatkan bahwa pendidikan tidak pernah netral; ia bisa menjadi alat untuk membebaskan atau justru menindas. Dalam konteks ini, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk memanusiakan (humanisasi) dengan membuka cakrawala berpikir, atau sebaliknya, menjadi alat dehumanisasi saat ia menyemai kebencian terhadap “yang lain” (the other).

Oleh karena itu, setiap upaya untuk menjadikan sekolah sebagai benteng melawan ekstremisme harus dimulai dari sebuah diagnosis kritis terhadap praktik pendidikan yang berjalan saat ini. Upaya yang bersifat superfisial, seperti seminar kebangsaan atau program seremonial, terbukti tidak cukup efektif. Artikel ini berargumen bahwa pencegahan ekstremisme menuntut sebuah transformasi paradigma pendidikan yang mendasar, yang menyentuh aspek filosofis, kurikuler, pedagogis, hingga budaya institusional sekolah.

Diagnosis Kerentanan: Celah Infiltrasi Ekstremisme dalam Sistem Pendidikan

Ekstremisme tidak tumbuh di ruang hampa. Ideologi ini dapat berkembang subur ketika menemukan ekosistem yang mendukung. Dalam konteks pendidikan, terdapat beberapa kerentanan sistemik yang secara tidak sadar menyediakan lahan persemaian tersebut.

Pertama, dominasi “model perbankan” dalam pedagogi. Istilah yang dipopulerkan oleh Freire (1970) ini merujuk pada praktik pengajaran di mana guru bertindak sebagai “penabung” informasi ke dalam pikiran siswa yang pasif, yang dianggap sebagai “celengan kosong”. Dalam model ini, penekanan terletak pada hafalan dan kepatuhan, bukan pada penalaran kritis dan refleksi. Dalam konteks pendidikan agama, model ini sangat berbahaya.

Siswa diajarkan untuk menerima doktrin sebagai kebenaran absolut tanpa ruang untuk bertanya mengenai konteks (asbāb an-nuzūl), tujuan esensial (maqāṣid asy-syarīʿah), atau relevansinya dengan realitas sosial yang kompleks. Ketiadaan daya kritis inilah yang menjadi pintu masuk bagi narasi ekstremis yang menawarkan solusi simplistis, hitam-putih, dan absolut atas segala persoalan.

Kedua, kurikulum pendidikan agama yang cenderung eksklusif dan kurang berwawasan keindonesiaan. Secara umum, materi pendidikan agama di sekolah lebih banyak berfokus pada aspek ritual-formal (fiqh) dan teologis-dogmatis (akidah) yang bersifat internal. Sementara itu, porsi untuk pembahasan nilai-nilai etis universal agama, dialog antar-iman, dan sejarah kontribusi umat beragama dalam membangun bangsa Indonesia masih sangat minimal. Pendekatan yang berorientasi ke dalam (inward-looking) ini berpotensi menciptakan mentalitas “kepompong”, di mana siswa merasa superior dengan keyakinannya sendiri dan memandang penganut keyakinan lain dengan kecurigaan atau bahkan permusuhan (Azra, 2016).

Ketiga, keberadaan “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum) yang kontra-produktif. Kurikulum tersembunyi merujuk pada nilai, norma, dan keyakinan yang ditransmisikan secara tidak langsung melalui rutinitas, struktur, dan budaya sekolah (Giroux & Penna, 1979). Meskipun kurikulum formal mengajarkan Pancasila dan toleransi, praktik sehari-hari di sekolah bisa saja menunjukkan hal sebaliknya. Contohnya, segregasi siswa dalam kegiatan non-akademik berdasarkan latar belakang agama, komentar stereotipikal dari pendidik, atau kebijakan sekolah yang secara tidak langsung mendiskriminasi kelompok minoritas. Pesan-pesan non-verbal ini seringkali lebih kuat dampaknya daripada materi yang diajarkan di kelas.

Kerentanan-kerentanan inilah yang harus menjadi titik awal intervensi. Upaya deradikalisasi tidak akan efektif jika sistem pendidikan itu sendiri terus mereproduksi kondisi yang memungkinkan radikalisme tumbuh.

Empat Pilar Transformasi Pendidikan untuk Deradikalisasi

Untuk membentengi dunia pendidikan dari infiltrasi ekstremisme, diperlukan sebuah kerangka kerja holistik yang mentransformasi empat pilar utama secara simultan.

Pilar pertama, reformasi kurikulum menuju pendidikan inklusif. Upaya ini harus dimulai dari jantung pendidikan karakter, yakni Pendidikan Agama. Kurikulum pendidikan untuk semua agama perlu diperkaya secara signifikan dengan muatan yang berwawasan kebangsaan, menekankan titik temu nilai-nilai etis universal seperti keadilan dan kemanusiaan yang selaras dengan Pancasila. Pengenalan terhadap eksistensi dan tradisi agama-agama lain secara objektif juga esensial untuk membangun pemahaman yang saling menghargai.

Akan tetapi, tanggung jawab ini tidak boleh berhenti pada mata pelajaran agama semata. Nilai-nilai kebinekaan harus diintegrasikan secara lintas disiplin. Mata pelajaran Sejarah, misalnya, harus menyajikan narasi yang utuh tentang kontribusi pahlawan dari berbagai etnis dan agama. Pelajaran Sosiologi dapat menjadi wahana analisis kritis terhadap kohesi sosial, sementara pelajaran Bahasa dan Sastra dapat mengeksplorasi karya-karya yang merefleksikan pluralitas budaya Indonesia.

Pilar kedua, inovasi pedagogi yang mendorong penalaran kritis. Perubahan substansi kurikulum harus diiringi dengan transformasi cara penyampaiannya di ruang kelas. Guru harus secara sadar beralih dari peran sebagai “penceramah” menjadi “fasilitator” pembelajaran melalui implementasi metode dialogis dan kolaboratif. Praktik seperti pembelajaran berbasis proyek (problem-based learning), debat konstruktif, dan dialog Sokratik harus menjadi norma, bukan lagi pengecualian.

Melalui metode-metode ini, siswa dilatih untuk menganalisis masalah dari berbagai sudut pandang, membangun argumen berbasis data, dan mengelola perbedaan pendapat secara produktif—sebuah antitesis dari pola pikir dogmatis. Di era digital saat ini, arena dialog dan pemikiran kritis telah meluas ke ruang virtual, sehingga pilar pedagogi ini wajib diperkuat dengan pengembangan literasi digital yang kritis. Pendidikan harus secara eksplisit membekali siswa dengan kompetensi untuk mengidentifikasi hoaks, mengenali propaganda, dan memahami cara kerja algoritma media sosial yang dapat menjebak mereka dalam gelembung informasi (filter bubbles). Ini adalah bentuk imunisasi digital yang vital terhadap penyebaran narasi ekstremis.

Pilar ketiga, pengembangan kapasitas dan peran strategis pendidik. Aktor kunci yang menentukan keberhasilan kedua pilar sebelumnya adalah pendidik. Oleh karena itu, pilar ketiga berfokus pada pengembangan kapasitas dan penguatan peran strategis guru. Program pengembangan keprofesian berkelanjutan dan pendidikan pra-jabatan harus memasukkan modul wajib mengenai kompetensi multikultural, resolusi konflik, dan pedagogi inklusif.

Guru perlu dilatih agar memiliki kepekaan budaya dan kepercayaan diri untuk memfasilitasi diskusi-diskusi sensitif di kelas secara konstruktif. Akan tetapi, kompetensi teknis ini harus ditopang oleh fondasi yang lebih esensial, yaitu keteladanan (role model). Peran guru melampaui transfer pengetahuan, mereka adalah teladan karakter yang hidup. Sikap, perkataan, dan tindakan guru yang mencerminkan keadilan, keterbukaan, dan penghargaan tulus terhadap perbedaan dalam interaksi sehari-hari merupakan pelajaran paling berdampak yang akan diserap oleh siswa, yang seringkali jauh lebih kuat daripada materi di buku teks.

Dan pilar keempat adalah penciptaan ekosistem sekolah yang bineka. Upaya transformatif tidak akan lengkap jika hanya berhenti di ambang pintu kelas. Pilar terakhir adalah penciptaan ekosistem sekolah yang secara menyeluruh menjadi miniatur Indonesia yang ideal. Ini menuntut sebuah “pendekatan sekolah menyeluruh” (whole-school approach), di mana prinsip inklusivitas tercermin dalam setiap kebijakan, program, dan artefak budaya sekolah. Sekolah harus secara proaktif merancang kegiatan ekstrakurikuler dan proyek kolaboratif yang mendorong interaksi otentik antar siswa dari latar belakang yang beragam.

Budaya inklusif ini kemudian harus dilindungi oleh kerangka kebijakan yang tegas, seperti aturan tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap segala bentuk perundungan, diskriminasi, atau ujaran kebencian berbasis SARA, yang dilengkapi dengan mekanisme pelaporan yang aman dan kredibel. Lingkaran perlindungan ini tidak akan sempurna tanpa melibatkan pilar eksternal. Oleh karena itu, membangun kemitraan strategis dengan orang tua melalui program edukasi serta melibatkan tokoh masyarakat dan agama yang moderat dalam ekosistem sekolah menjadi langkah krusial untuk memastikan nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah mendapat penguatan di rumah dan lingkungan sekitar.

Kesimpulan: Pendidikan sebagai Proyek Kemanusiaan

Memerangi ekstremisme melalui pendidikan bukanlah sebuah proyek teknokratis yang dapat diselesaikan dengan beberapa penyesuaian kurikulum atau pelatihan guru. Ini adalah sebuah proyek kebudayaan dan kemanusiaan jangka panjang yang menuntut reorientasi filosofis tentang makna dan tujuan pendidikan itu sendiri.

Tujuannya bukan lagi sekadar mencetak lulusan yang unggul secara akademis, tetapi membentuk manusia Indonesia seutuhnya: individu yang memiliki kedalaman spiritual dan keimanan, namun pada saat yang sama memiliki keluasan wawasan, kematangan emosional untuk mengelola perbedaan, dan daya nalar kritis untuk menolak narasi yang merendahkan martabat kemanusiaan.

Dengan mentransformasi empat pilar—kurikulum, pedagogi, pendidik, dan ekosistem sekolah—secara simultan dan berkelanjutan, kita dapat mengubah sekolah dari sekadar tempat belajar menjadi laboratorium kebinekaan. Di sanalah generasi masa depan Indonesia tidak hanya belajar tentang toleransi, tetapi menghidupinya setiap hari. Inilah ikhtiar paling strategis yang dapat kita lakukan untuk memastikan bahwa “dosa” ekstremisme tidak lagi mendapat tempat di rumah besar bernama Indonesia.

Daftar Referensi

  • Azra, A. (2016). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Kencana.
  • Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Herder and Herder.
  • Giroux, H. A., & Penna, A. N. (1979). Social Education in the Classroom: The Dynamics of the Hidden Curriculum. Theory & Research in Social Education, 7(1), 21-42.
  • PPIM UIN Jakarta. (2018). Api dalam Sekam: Keberagamaan Generasi Z. Laporan Survei Nasional.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Jalin Kerjasama

GemaMerahPutih.com terbuka untuk kolaborasi dan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat maupun lembaga. Silahkan hubungi kami:

Jenis Kerjasama

Form Pengaduan

Silahkan tuliskan pengaduan Anda di dalam form berikut: