DI TENGAH dunia yang kian disesaki krisis kemanusiaan, satu kabar baik datang dari Jakarta. Pekan kemarin, ruang akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terasa berbeda. Para tokoh lintas bangsa, ulama, dan akademisi duduk semeja. Mereka sepakat bahwa agama, ilmu pengetahuan, dan diplomasi harus kembali menjadi pilar utama perdamaian dunia.
“Republik Indonesia sahabat kita adalah teladan nyata dalam nilai koeksistensi dan penghormatan terhadap keragaman. Falsafah Bhinneka Tunggal Ika yang berakar pada Pancasila adalah simbol toleransi dunia,” ujar Shaima Salem Alhebsi, Wakil Kepala Perwakilan Kedutaan Besar Uni Emirat Arab (UEA) di Jakarta, Jumat 26 September 2025.
Toleransi sebagai Kebijakan
Shaima menegaskan, baik Indonesia maupun UEA telah lama menempatkan toleransi sebagai fondasi kebijakan domestik dan internasional. UEA mendirikan Kementerian Toleransi, Forum Abu Dhabi untuk Perdamaian, dan Majelis Hukama al-Muslimin. Indonesia pun dikenal konsisten mengusung moderasi beragama di pentas dunia.
Baginya, forum semacam ini penting, mengingat dunia kini dibelit beragam tantangan: konflik bersenjata, perubahan iklim, hingga krisis ideologi. “Semua ini menuntut kita untuk menggali nilai-nilai bersama, memperkuat budaya dialog, dan menegakkan semangat hidup berdampingan secara damai,” tambahnya.
Fiqh Realitas dari Kampus Ciputat
Rektor UIN Jakarta, Prof. Asep Saepudin Jahar, menekankan pentingnya fiqh realitas. Sebuah pendekatan baru yang menempatkan Islam tidak hanya sebagai doktrin normatif, tetapi juga sebagai rahmat yang hidup dalam keseharian.
“Dengan spirit ini, kita dapat memperkuat kemampuan umat Islam untuk berdialog, membangun kebersamaan, dan menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam,” ujarnya.
Ia menilai, kerja sama akademisi lintas negara bukan sekadar wacana. Dunia tengah bergerak cepat, penuh perubahan sosial, politik, budaya, bahkan ideologi. “Karena itu, menghadirkan fiqh realitas menjadi kebutuhan mendesak agar ajaran Islam mampu merespons tantangan kemanusiaan dengan bijaksana dan penuh penghormatan terhadap keberagaman,” lanjutnya.
Diplomasi Damai Ulama Dunia
Direktur Abu Dhabi Forum for Peace, Dr. Amina, melengkapi perbincangan dengan gagasan baru: menyandingkan intelektualitas dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. “Kami menekankan pentingnya pengembangan pendekatan baru yang berfokus pada keadilan ekonomi dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan,” katanya.
Sosok pendiri forum, Syaikh Abdullah bin Bayyah, memang dikenal sebagai arsitek diplomasi damai. Ia terlibat dalam berbagai pertemuan bersejarah, mulai dari Deklarasi Maroko 2016 yang menegaskan hak minoritas agama, hingga Alliance of Virtues di Washington pada 2018.
“Forum Abu Dhabi di Indonesia diharapkan menjadi jembatan dialog lintas iman dan budaya, sekaligus memperkuat kontribusi Indonesia dalam perdamaian dunia,” ujar Prof. Arif Zamhari, Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN Jakarta.
Jalan Panjang Perdamaian
Dialog yang lahir dari forum ini bukan sekadar seremonial. Ia adalah cermin bahwa Indonesia dan UEA—dua negara dengan kultur dan tradisi yang berbeda—sama-sama menegaskan komitmen membangun peradaban damai.
“Mengokohkan nilai-nilai bersama adalah langkah awal perdamaian berkelanjutan. Dengan modal sejarah, nilai, dan kepentingan bersama, kita mampu membangun masa depan yang lebih aman, adil, dan penuh toleransi,” pungkas Shaima.
Forum itu pun menutup diskusi dengan harapan: bahwa kerja sama akademik dan riset akan menjadi fondasi baru, bukan hanya untuk UIN Jakarta dan Abu Dhabi Forum, melainkan bagi seluruh dunia yang tengah mencari jalan keluar dari krisis kemanusiaan global.