Oleh KH. Miftah Habiburrahman Maulana
Sejak kecil kita diajari nilai penting persatuan dan kesatuan. Ruh kebangsaan. Nadi kenegaraan. Sejak Mpu Tantular menulis “bhinneka tunggal ika” dalam kitab Sutasoma, kita berkomitmen merawat warisan. Tapi mengapa selalu dilupakan?
Tragedi pengrusakan vila atau rumah (bukan gereja) yang digunakan retreat umat minoritas (Nasrani) di Cidahu, Sukabumi, menambah daftar panjang intoleransi. Bukan hanya itu saja. Tapi juga mempertanyakan jati diri kita. Benarkah kita masih putra-putri yang dilahirkan ibu pertiwi? Masihkah kita tahu diri sebagai generasi yang memikul cita dan harapan leluhur?
Para founding-fathers melahirkan negeri ini dengan darah dan keringat perjuangan. Kita tinggal mengisinya, memakmurkannya, meningkatkan harkat dan martabatnya. Apa susahnya menjaga persatuan dan kesatuan, melupakan perbedaan, mengembangkan persamaan?!
Negeri ini tidak dibidani satu golongan saja, tapi oleh semua golongan, dengan latar belakangan suku, budaya, dan agama yang berbeda. Sudah selayaknya memberikan hak yang sama, tanpa pandang bulu. Tidak layak satu golongan mendominasi golongan lain.
Sekalipun golongan itu adalah mayoritas, kesamaan hak masih harus dijunjung tinggi. John Stuart Mill (1859) dalam bukunya On Liberty telah mengingatkan jauh-jauh hari, jika atmosfer politik hanya berpihak pada mayoritas, buahnya adalah tirani mayoritas. Maka seyogyanya ini jadi refleksi kita bersama.
Jangan lupa pula, pahlawanan nasional kita tidak hanya dari satu golongan. Kapitan Pattimura (1817), Agustinus Adisucipto (1947), Sam Ratulangi (1949), Pierre Tendean (1965), Jamin Ginting (1974), Alexander Andries Maramis (1977), T. B. Simatupang (1990), dan masih banyak lagi. Mereka representasi minoritas.
Sekali lagi ditekankan, negeri ini adalah hasil kerja keras bersama. Tidak ada yang layak mengaku paling berjasa, paling berkorban, paling berjuang. Setiap golongan memberikan kontribusi yang tidak bisa diberikan golongan lain. Indonesia milik bersama, baik golongan mayoritas maupun minoritas.
Apa yang patut dibanggakan menjadi mayoritas namun tiran; mayoritas yang merusak; mayoritas yang egois? Apa yang membanggakan dari menyimpangkan amanat Bhinneka Tunggal Ika untuk menghargai perbedaan? Apa manfaatnya mengkhianati persatuan yang diajarkan Pancasila?
Indonesia, Satu Tubuh Satu Jiwa
Saya ingat pesan agama, perbedaan adalah rahmat; anugerah yang patut disyukuri. Manusia ditakdirkan lahir membawa perbedaan, agar saling mengenal satu sama lain. Tidak ada kemuliaan lebih bagi satu bangsa atas bangsa lain; bagi orang yang berkulit putih atas yang berkulit berwarna.
Umat itu satu tubuh, yang saling mendukung satu sama lain. Jika tangan sakit, kaki berjalan mencari obat. Jika kaki sakit, tangan mengolesi salep. Jika tangan dan kaki sakit, kepala berhenti berpikir untuk beraktivitas berat. Pesan agama begitu jelas dan tegas. Hanya kita yang mudah lupa.
Dalam semangat yang sama, penyair kita, Sutardji Calzoum Bachri, mengatakan: “kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu/daging kita satu arwah kita satu/yang tertusuk padamu berdarah padaku.” Begitulah Indonesia, satu tubuh, satu darah.
Ketika tragedi Cidahu, Sukabumi, viral di media, rasa nasionalisme dan patriotisme terlukai. Bagaimana bisa sesama anak bangsa berpikir dan bertindak untuk saling melukai. Apa alasan pembenar satu anggota tubuh melukai anggota tubuh lain.
Dalam hemat penulis, merusak rumah ibadah satu umat, entah itu gereja, masjid, atau rumah pribadi untuk kegiatan keagamaan, sama dengan merusak Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bukan saja tentang kekebasan beragama. Tetapi tentang menjadi Indonesia.
Sebelum agama Semit (Kristen dan Islam) maupun agama India (Hindu dan Buddha), bangsa kita sudah “beragama”, percaya pada kekuatan adikodrati, menciptakan semesta, mengatur kehidupan, dan hadir dalam setiap jejak napas. Beragama berarti menjadi Nusantara, menjadi Indonesia.
Foundingfather kita, Bung Karno, pernah berkata: “Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab, kalau Kristen jangan jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat-budaya Nusantara yang kaya raya ini.”
Maksud menjadi orang Nusantara berarti memegang adat-budaya Nusantara. Adat di sini telah dirangkum dalam satu frasa indah oleh Mpu Tantular, “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Darma Mangrwa.” Berbeda-beda, tapi tetap satu juga. Tidak kebenaran yang mendua.
Tragedi Cidahu, Sukabumi, tidak sesuai dengan adat-budaya Nusantara. Tindakan anarkis tidak akan pernah dibenarkan di mata hukum, agama, maupun adat-budaya Nusantara. Jika para pelaku menganggap perbuatan destruktif tersebut benar menurut mereka sendiri, itu artinya mereka bukan lagi bangsa Indonesia.
Menjadi Indonesia berarti menjadi diri sendiri sekaligus orang lain. Menghormati diri sendiri sekaligus orang lain. Memuliakan diri sendiri sekaligus orang lain. Jika gagal memahami filosofi persatuan dan kesatuan kebenaran ini, gagal pula menjadi Indonesia.
Ada yang disebut sebagai golden rule, “jangan menyakiti orang lain jika diri sendiri tidak mau disakit.” Artinya, jangan merusak properti orang lain jika properti kita tidak mau dirusak. Jangan menodai kehormatan orang lain jika kehormatan kita tidak mau dinodai. Sebagai penutup, penulis ingin mengutip satu ayat suci yang menjadi pengingat kita bersama: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan,” (Qs. Al-An’am:108). Semoga kita menjadi bangsa yang lemah lembut, sopan dan santun.