Sebagai bangsa yang besar, keragaman berpotensi melahirkan perpecahan. Leluhur Nusantara mewariskan sebuah pesan moral yang begitu indah, sebagai pegangan generasi muda, yaitu: Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Boleh berbeda-beda, tetapi tetap satu jua. Pesan itu semakin relevan dalam konteks kehidupan hari-hari ini.
Sebelumnya, polemik masih terbatas pada golongan Habaib Ba’alawi dan Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS). Namun, kini Pengurus Besar (PB) Alkhairaat terseret dalam arus konflik. Konflik seperti Si Jago Merah yang melahap apapun di dahapannya.
Mpu Tantular (w. 14 M.) menulis dalam kitabnya, Sutasoma, “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Berbeda-beda tetap satu jua, karena tidak ada kebenaran yang mendua. Mpu Tantular telah memberi prinsip tentang perlu merayakan pesta keragaman. Perbedaan tidak perlu menjadi batu sandungan bagi persatuan. Begitulah generasi penerus bangsa seharusnya berperilaku, dengan akar budaya Nusantara yang sama.
Sering kali orang lupa bahwa semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” bukan hanya tentang seruan moral. Sebaliknya, Mpu Tantular menyebutnya sebagai hasil dari dialektika kebenaran. Satu frasa penting setelahnya berbunyi “Tan Hana Dharma Mangrwa”. Perbedaan yang dimaksudkan bukan semata berbeda ras, suku, dan etnis yang “given” dari Tuhan. Tetapi juga perbedaan karena dharma; perbedaan yang lahir dari kebenaran relatif, atau berpijak pada keragaman metodologis.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dharma berarti tugas, tanggung jawab, dan kebajikan. Mpu Tantular menyebut, tidak ada dharma yang mendua. Berarti tidak ada tugas, tanggung jawab dan kebajikan dimana yang satu benar dan yang lain salah. Darma itu tunggal, dan manifestasi dari darma itu beragam. Dengan kata lain, keragaman merupakan pantulan dari darma yang satu.
Habaib Ba’alawi dan PWI-LS memiliki pantulan darma masing-masing. Buktinya, perdebatan akademik tentang nasab berakhir pada ketidaksepakatan. Hasil akhir demikian ini tidak harus mendorong perpecahan masyarakat akar rumput. Masing-masing pihak memikul darmanya sendiri-sendiri. Dan tidak ada dharma yang “mangrwa”, mendua. Berjalan di jalur masing-masing.
Darma dalam pemikiran Mpu Tantular ibarat jalan raya. Para pejalan kaki, pengendara becak, motor, mobil, bus dan truk boleh berjalan di jalan yang sama. Mereka tidak harus saling menabrak satu sama lain. Namun demikian, tabrakan di jalan raya adalah sesuatu yang sering terjadi. Dari sanalah muncul konsep-konsep yang sengaja dipolitisir; pribumi versus non-pribumi.
Tabrakan di jalan raya, atau konflik dalam dharma, perlu diminimalisir. Setiap pengendara atau pelaku dharma harus mematuhi semua peraturan dan rambu-rambu lalu lintas saat berkendara. Setiap individu atau kelompok harus memiliki kesadaran tinggi tentang berhati-hati untuk tidak mencelakakan orang dan kelompok lain. Satu kesalahan kecil individu dapat memakan korban dan membunuh nyawa orang lain secara kolektif.
Program Kebhinnekaan dan Radikalisme Identitas
Selain kesadaran individual-personal, peran negara dan pemerintah semakin urgen dan signifikan. Pemerintah diharapkan turun tangan langsung, mengkampanyekan nilai-nilai kebhinnekaan, dan mendukung keragaman manifestasi dharma.
Masyarakat membutuhkan program-program nyata pemerintah, sehingga mereka tahu bagaimana bersikap dan bertindak untuk memperkuat persatuan dalam keragaman.
Bangsa ini sedang menderita krisis identitas, yang berujung pada radikalisme. Salah satunya terlihat dari cara mengartikan kata “pribumi”. Pendekatan dalam memahami kata “pribumi” condong pada cara pandang yang radikal. Pribumi diartikan sebagai kata dan konsep untuk menyerang kelompok lain yang berbda dan dilabeli sebagai non-pribumi.
Konsep pribumi sendiri condong absurd. Manusia yang menghuni Nusantara sejak awal adalah Homo Erectus, yang bermigrasi dari Afrika. Agama yang dianut manusia Nusantara juga barang luar, seperti Hindu-Buddha hingga Kristen dan Islam. Bahasa dan budaya juga berkembang mulai dari Sansekerta, Melayu, hingga Indonesia, serta banyak menggunakan kata serapan dari negara-negara Timur Tengah maupun Eropa.
Konfrontasi antara Ba’alawi, PWI-LS, dan keterlibatan Alkhairaat menandakan adanya pergeseran radikalisme, yang semula mengusung semangat agama menjadi radikalisme identitas. Pergeseran dari terorisme agama ke terorisme identitas disertak kekerasan fisik, pelaporan tindakan pidana kepada kepolisian, dan tuduhan pencemaran nama baik.
Terminologi pribumi versus nonpribumi diartikan dengan cara radikal, yang hampir sama dengan pengertian muslim dan kafir. Pribumi dianggap selalu benar dan nonpribumi salah. Muslim dianggap selalu benar, dan kafir salah. Cara pandang yang dikotomis ini tidak saja berseberangan dengan kebhinekaan Mpu Tantular, tetapi juga tidak relevan dalam konteks masyarakat multikultural, plural, dan menjalani globalisasi.
Krisis identitas yang mengarah pada radikalisme seperti kanker. Program-program pemerintah yang memperkuat kebhinnekaan sama urgennya dengan program-program anti-radikalisme dan anti-terorisme. Keresahan publik akibat konfrontasi antar kelompok sama parahnya dengan keresahan akibat terorisme agama. Polemik identitas kini menampilkan wajah teror atas nama identitas-kultural.
Diseminasi gagasan kebhinekaan harus mampu menyentuh level akar rumput. Sebab, para pendukung kubu-kubu yang sedang berkonflik mulai digerakkan oleh faktor psikologis dan emosi dari pada faktor akademik. Perdebatan yang bermula dari riset dan panggung ilmiah berujung pada propaganda dan mobilisasi massa.
Perdebatan kini sudah tidak lagi produktif, dan tidak mencerdaskan anak bangsa. Sebaliknya, perdebatan mengarah pada konflik, kekerasan, dan tindakan pidana. Oleh karenanya, pemerintah perlu segera bertindak lebih cepat, jangan sampai polemik berubah konflik.[]