Keragaman Iman Sebagai Kekayaan, Bukan Ancaman

keragaman iman sebagai kekayaan

Mantan Wakil Presiden RI KH. Ma’ruf Amin

Mantan Wakil Presiden RI KH. Ma’ruf Amin, pada tahun 2023, menyampaikan rasa syukurnya karena Indonesia kini dikenal sebagai salah satu negara paling toleran di dunia.

Banyak negara, khususnya dari Timur Tengah, datang belajar tentang praktik toleransi di Nusantara. Mereka bahkan meminta agar bahan bacaan tentang toleransi di Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai referensi bagi masyarakat mereka.

Pernyataan para pemimpin Timur Tengah ini mengandung dua pesan penting: sebuah apresiasi atas capaian bangsa, sekaligus pengingat bahwa toleransi adalah warisan luhur yang harus terus dipelihara.

Indonesia memang dianugerahi keberagaman yang luar biasa. Lebih dari 17.000 pulau, 1.300-an suku bangsa, dan enam agama resmi hidup berdampingan di bawah semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman ini bukan hanya fakta sosial, tetapi juga menjadi identitas politik dan budaya yang membedakan Indonesia dari negara lain.

Dalam sejarahnya, toleransi tumbuh subur sejak para wali menyebarkan Islam dengan pendekatan damai. Sunan Bonang, yang disebut Wapres Ma’ruf Amin, adalah contoh nyata. Alih-alih menghapus tradisi setempat, ia justru menyelaraskannya dengan nilai-nilai Islam.

Pendekatan kultural Sunan Bonang dan Wali Songo lain membuat dakwah Islam diterima dengan hati terbuka oleh masyarakat Jawa, tanpa memicu benturan yang merusak tatanan sosial. Inilah yang menjadikan toleransi di Indonesia tidak bersifat pasif (hanya sebatas ketiadaan konflik), tetapi aktif.

Mengakui keberadaan yang berbeda-beda, saling menghormati, dan bahkan merayakan perbedaan sebagai anugerah Tuhan adalah bagian penting dari perilaku mayoritas bangsa Indonesia. Toleransi sendiri bukanlah konsep asing dalam khazanah Islam klasik.

Imam Al-Ghazali (w. 1111 M), seorang ulama besar, dalam Al-Iqtisad fi al-I’tiqad menulis: “Agama tidak akan lestari dengan paksaan. Karena iman lahir dari keyakinan, bukan dari pedang atau paksaan penguasa.

Pesan Al-Ghazali ini menegaskan bahwa kebebasan memilih keyakinan adalah pondasi bagi terciptanya masyarakat yang damai. Paksaan dalam beragama hanya akan melahirkan kemunafikan, bukan keimanan yang murni.

Begitu pula Ibnu Khaldun (w. 1406 M) dalam Muqaddimah, yang menjelaskan pentingnya menjaga harmoni sosial di tengah keragaman agama. Ia menulis bahwa sebuah negara yang memaksakan keseragaman akan mudah rapuh karena kehilangan loyalitas dari kelompok-kelompok minoritas.

Dalam pandangan Khaldun, kekuatan sebuah peradaban justru terletak pada kemampuannya merangkul perbedaan, bukan menekannya. Imam al-Ghazali dan Ibnu Khaldun mengajarkan kepada kita bahwa toleransi bukan hanya tuntutan etika, tetapi juga strategi peradaban yang membawa kejayaan.

Di era globalisasi, toleransi menjadi kunci bagi ketahanan sosial sebuah bangsa. Negara-negara yang gagal merawat keragaman seringkali terjebak dalam konflik berkepanjangan, seperti yang kita saksikan di Timur Tengah dan sebagian wilayah Afrika.

Indonesia, dengan segala keterbatasan dan tantangannya, menjadi pengecualian yang membanggakan. Kita telah mampu menjaga perdamaian meski memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia yang hidup berdampingan dengan pemeluk agama-agama lain. Inilah yang membuat banyak negara menganggap Indonesia sebagai laboratorium toleransi yang layak ditiru.

Namun, pujian ini tidak boleh membuat kita lengah. Data Setara Institute menunjukkan bahwa di beberapa daerah, intoleransi masih menyelinap dalam bentuk diskriminasi terhadap minoritas, pemaksaan simbol-simbol agama tertentu di sekolah, hingga pembatasan pembangunan rumah ibadah. Semua ini menjadi ancaman serius terhadap reputasi Indonesia sebagai negara toleran.

Jika ingin menjaga dan memperkuat tradisi toleransi, pendidikan adalah kunci. Sekolah-sekolah harus menjadi ruang aman bagi semua keyakinan, bukan arena pemaksaan identitas mayoritas. Kurikulum pendidikan perlu menanamkan nilai-nilai pluralisme dan empati sejak dini, sehingga generasi mendatang dapat melihat perbedaan sebagai rahmat, bukan ancaman.

Pemerintah juga harus memastikan bahwa setiap anak, apapun agamanya, mendapat hak untuk belajar sesuai keyakinannya. Pemaksaan belajar agama mayoritas kepada siswa minoritas, sebagaimana terjadi di beberapa daerah, bukan saja bertentangan dengan konstitusi tetapi juga mengkhianati semangat rahmatan lil ‘alamin yang dibawa Islam.

Wapres Ma’ruf Amin benar ketika mengatakan bahwa kita patut bersyukur atas predikat negara paling toleran. Namun syukur itu harus diwujudkan dalam usaha nyata untuk merawatnya. Toleransi bukan hadiah yang turun dari langit, tetapi hasil kerja keras dan kesadaran kolektif untuk menghormati hak-hak setiap warga.

Sebagaimana diajarkan oleh para ulama klasik, membangun masyarakat yang damai dan adil membutuhkan keberanian moral untuk menolak paksaan dalam hal keyakinan. Iman sejati lahir dari hati yang merdeka, bukan dari tekanan negara atau mayoritas.

Kini, dunia menatap Indonesia sebagai mercusuar toleransi. Jangan biarkan cahaya itu padam oleh egoisme sektarian atau kebijakan diskriminatif yang menggerogoti pondasi kebangsaan kita. Toleransi adalah warisan, tetapi juga amanah. Dan amanah itu hanya akan terjaga jika kita berkomitmen untuk merawatnya—di rumah, di sekolah, di ruang publik, dan dalam kebijakan negara.[]

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Jalin Kerjasama

GemaMerahPutih.com terbuka untuk kolaborasi dan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat maupun lembaga. Silahkan hubungi kami:

Jenis Kerjasama

Form Pengaduan

Silahkan tuliskan pengaduan Anda di dalam form berikut: