Dari aula Kemenag Kuantan Singingi, strategi mencegah konflik sosial dirumuskan dalam senyap dan serius.
AULA Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau, dipenuhi percakapan serius namun penuh semangat.
Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Penguatan Cegah Dini dan Deteksi Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan” digelar sebagai upaya memperkuat sinergi antar lembaga dalam menghadapi salah satu ancaman paling rapuh di negeri ini: gesekan antariman.
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Inuman, Firdaus, S.Th.I., M.Ag., menjadi salah satu peserta aktif. Ia menggarisbawahi pentingnya kehadiran KUA sebagai garda terdepan Kementerian Agama di level kecamatan.
“Kami punya tanggung jawab moral, bukan hanya administratif. KUA harus menjadi fasilitator dan mediator ketika ada potensi perpecahan,” ujarnya.
Diskusi lintas sektor ini mempertemukan tokoh agama, unsur pemerintah daerah, dan pemangku kebijakan. Mereka tak bicara soal toleransi sebagai jargon, melainkan membedah strategi konkret yakni bagaimana mengenali bibit konflik, membangun jaringan respons cepat, hingga merawat kepercayaan publik melalui dialog antarumat.
FGD ini bukan sekadar forum formal. Ia menjadi ladang awal bagi lahirnya sistem deteksi dini yang responsif dan kolaboratif. Sebuah pagar sosial yang dibangun sebelum api perbedaan menyulut pertikaian.
Dengan kehadiran tokoh dari KUA Inuman dan lintas lembaga lainnya, Kemenag menegaskan: moderasi beragama bukan proyek elite, melainkan kerja bersama dari bawah. Agar masyarakat tetap damai, keyakinan tetap terhormat, dan keberagaman tetap menjadi kekuatan.
