Pancasila bukan sekadar jargon. Ia adalah jiwa bangsa Indonesia yang merangkul semua perbedaan. Namun, setiap kali terjadi penolakan rumah ibadah, kita diingatkan betapa rapuhnya komitmen kebangsaan ini. Penolakan pembangunan gereja di Kubu Raya, 8 Juli 2025, menjadi contoh nyata rapuhnya toleransi.
Forum RT di Desa Kapur, Kabupaten Kubu Raya, mengeluarkan surat penolakan terhadap pembangunan Gereja Katolik. Alasannya klasik: kekhawatiran sosial dan penolakan sebagian warga. Padahal, hak beribadah dijamin UUD 1945 dan diperkuat SKB Dua Menteri. Penolakan ini jelas menyalahi hukum dan nurani kemanusiaan.
Bupati Kubu Raya, Sujiwo, bergerak cepat. Ia memanggil Forum RT, kepala desa, camat, hingga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Dengan tegas ia menyatakan, “Tidak ada ruang bagi intoleransi di daerah ini.” Ini adalah sikap negarawan yang harus diapresiasi dan ditiru oleh pemimpin lain.
Sikap tegas ini penting karena intoleransi tidak pernah lahir tiba-tiba. Ia tumbuh subur dari pembiaran, rasa takut, dan kompromi yang salah kaprah. Jika negara ragu bersikap, intoleransi akan menjelma menjadi api yang membakar persaudaraan bangsa dan menggerogoti fondasi kebangsaan.
Penolakan rumah ibadah adalah bentuk diskriminasi yang melukai martabat kemanusiaan. Setiap orang berhak menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Nabi Muhammad saw. melalui Piagam Madinah menjamin hak penuh kaum Yahudi untuk beribadah di Madinah. Ini warisan Islam yang harus kita teladani di negeri plural ini.
Prof. Tariq Ramadan, cendekiawan Muslim Eropa, menegaskan: “Toleransi bukan tentang menerima kehadiran orang lain dengan terpaksa, tetapi tentang merayakan keragaman sebagai bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan kita.” Kata-kata ini adalah cermin yang menampar kesadaran bangsa.
Wakil Gubernur Kalbar, Krisantus Kurniawan, mendukung langkah Bupati Sujiwo. Menurutnya, tidak ada tempat bagi intoleransi jika Kalbar ingin menjadi rumah yang damai bagi semua suku dan agama. Pernyataan ini sederhana, tetapi penting untuk mendinginkan suhu sosial yang mulai memanas.
Negara harus hadir sebagai penjaga konstitusi, bukan sekadar penonton. Terlalu banyak kasus serupa yang dibiarkan berlarut-larut di daerah lain. Keberanian politik diperlukan agar keadilan tidak tunduk pada tekanan kelompok tertentu yang mencoba memonopoli ruang publik atas nama mayoritas.
Selain pemerintah, masyarakat sipil harus mengambil peran aktif. Pemuda Katolik Kalbar mengecam penolakan tersebut sebagai pelanggaran hak asasi. PC PMII Kubu Raya juga menunjukkan solidaritas dengan mendukung kebebasan beragama. Solidaritas lintas iman ini adalah napas segar di tengah maraknya kebencian.
Kita harus sadar, intoleransi dipupuk oleh kebencian, prasangka, dan provokasi yang dibiarkan beredar tanpa perlawanan. Media sosial memperparah keadaan dengan menyebarkan hoaks yang menyudutkan kelompok minoritas. Ini masalah serius yang harus segera ditangani dengan literasi dan edukasi publik.
Pendidikan menjadi kunci utama. Sekolah, pesantren, dan keluarga harus mengajarkan nilai-nilai keberagaman sejak dini. Pendidikan agama harus dimaknai sebagai jalan menuju akhlak mulia, bukan alat untuk menilai benar-salahnya keyakinan orang lain atau membenarkan kebencian.
Islam menempatkan kebebasan beragama sebagai prinsip fundamental. Al-Qur’an menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah: 256). Ayat ini bukan hanya larangan memaksa orang masuk Islam, tetapi juga seruan untuk menghormati keyakinan yang berbeda.
Sheikh Hamza Yusuf, tokoh Muslim di Amerika, berkata: “Perbedaan keyakinan adalah ujian bagi kemanusiaan kita. Jika kita tidak mampu menghormati hak orang lain untuk percaya, maka kita telah gagal memahami ajaran kita sendiri.” Pesan ini sangat relevan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk.
Penolakan rumah ibadah bukan hanya merugikan kelompok minoritas, tetapi juga mempermalukan wajah Indonesia di mata dunia. Kita dikenal sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar yang plural dan damai. Jangan biarkan cap intoleran melekat pada bangsa ini.
Pemimpin daerah yang berani bersikap tegas, seperti di Kubu Raya, harus dijadikan teladan. Namun langkah itu harus diikuti dengan komitmen pengawalan hingga gereja tersebut benar-benar berdiri. Jangan biarkan tekanan kelompok tertentu menggagalkan penegakan hukum.
Sebaliknya, kelompok mayoritas harus menyadari bahwa keberagaman tidak mengancam iman mereka. Sheikh Mustafa Ceric, mantan Mufti Bosnia, pernah berkata: “Kebencian terhadap perbedaan adalah racun spiritual. Hanya dengan cinta dan pengertian, kita bisa menjaga kesucian agama.”
Kasus di Kubu Raya adalah refleksi bagi kita semua. Apakah kita sudah benar-benar mempraktikkan Pancasila? Atau hanya menjadikannya hiasan dalam pidato-pidato seremonial? Jika diskriminasi masih dibiarkan, berarti kita belum sepenuhnya ber-Pancasila.
Toleransi bukan berarti tidak punya prinsip. Toleransi adalah kesadaran bahwa hak orang lain untuk berbeda sama pentingnya dengan hak kita mempertahankan keyakinan sendiri. Tanpa toleransi, tidak ada Indonesia yang damai. Tanpa toleransi, kebangsaan hanya tinggal nama.
Kolaborasi tokoh agama, pemerintah, dan masyarakat sipil harus terus diperkuat. Ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah perlu bersuara lantang menolak kebencian yang dibalut agama. Moderasi beragama harus dijadikan gerakan bersama, bukan hanya wacana elite.
Pembangunan rumah ibadah bukan sekadar urusan bangunan fisik. Ia adalah simbol pengakuan negara terhadap martabat setiap warganya. Menolak pembangunan gereja berarti menolak pengakuan atas keberadaan dan hak kelompok itu sebagai bagian sah dari bangsa ini. Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang bebas konflik, tetapi bangsa yang mampu mengelola perbedaan dengan adil. Indonesia harus memilih: tetap menjadi rumah bersama atau berubah menjadi arena kebencian. Pilihan itu ada di tangan kita semua.[]