Menghormati Agama Lain Tanpa Memaksakan Kebenaran Tunggal

menghormati agama lain tanpa

Di sebuah sekolah negeri di Aceh Singkil, Dita, seorang ibu muda, menceritakan kegelisahannya. Anak perempuannya yang masih duduk di kelas tiga SMP dipaksa mengikuti pelajaran agama Islam karena sekolah tidak menyediakan guru agama Kristen.

Ironisnya, meskipun sang anak rajin belajar dan nilainya selalu tinggi, rapornya “dikunci” maksimal angka 6 karena ia bukan pemeluk Islam. Situasi serupa terjadi di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, di mana siswa Kristen diminta memakai jilbab, membaca Al‑Qur’an, dan mengikuti tata cara salat agar bisa naik kelas.

Ini bukan cerita tunggal. Laporan Setara Institute, SEJUK, dan berbagai jaringan advokasi kebebasan beragama menyebutkan praktik diskriminasi serupa terjadi di Riau, Maluku, hingga Kalimantan Timur.

Siswa-siswa non-Muslim dan penghayat kepercayaan terpaksa belajar agama yang tidak mereka anut karena kurikulum sekolah tidak menyediakan pilihan sesuai keyakinan mereka.

Tragegi ini menunjukkan kebebasan beragama—yang dilindungi konstitusi dan dijunjung dalam doktrin Islam itu sendiri—akan dikerdilkan di ruang pendidikan. Pasal 28E UUD 1945 jelas menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pun menjamin peserta didik mendapatkan pendidikan agama sesuai keyakinannya. Namun, realitas di lapangan berbicara sebaliknya. Dalam banyak sekolah negeri di daerah tertentu, siswa minoritas dipaksa mengikuti pelajaran agama mayoritas karena ketiadaan guru atau kebijakan daerah yang diskriminatif.

Pemaksaan semacam ini melanggar prinsip paling mendasar kebebasan manusia, yaitu tidak ada paksaan dalam beragama. Frasa ini tidak hanya termaktub dalam Al-Qur’an: “Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat,” (QS. Al-Baqarah: 256).

Tidak ada pemaksaan dalam beragama merupakan nilai universal yang diakui oleh para filsuf dan cendekiawan lintas zaman. John Locke, filsuf Inggris abad ke-17 dalam karyanya A Letter Concerning Toleration menegaskan bahwa keyakinan tidak bisa dipaksakan oleh negara karena iman sejati lahir dari kesadaran batiniah, bukan hasil tekanan eksternal.

Locke mengatakan, “Hanya hati yang bebas dapat menerima kebenaran; paksaan justru melahirkan kemunafikan.” Dalam konteks pendidikan, teori Locke relevan. Ketika siswa dipaksa mempelajari ajaran agama yang tidak diyakininya, pendidikan gagal menjadi arena pembebasan. Sebaliknya, sekolah justru berperan sebagai alat penindasan yang mematikan otonomi moral anak.

Sementara itu, ekonom dan filsuf India Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, dalam Development as Freedom (1999) menyebut kebebasan sebagai pilar pembangunan manusia. Menurutnya, pendidikan seharusnya memperluas “kemampuan bertindak bebas” setiap individu, bukan mempersempitnya dengan membatasi pilihan sesuai identitas kultural atau religius.

Dalam kerangka ini, sekolah yang memaksa siswa minoritas belajar agama mayoritas sedang mengingkari esensi pendidikan itu sendiri. Dari perspektif Islam, Syekh Ahmad Thayyib, Grand Syaikh Al-Azhar, menegaskan bahwa pluralitas agama adalah sunnatullah, kehendak Tuhan yang harus diterima dengan lapang dada.

Dalam Konferensi Internasional tentang Kebebasan Beragama (2016), Grand Syaikh Al-Azhar berkata, “Memaksa manusia dalam agama tertentu adalah bentuk perlawanan terhadap kehendak Allah yang menciptakan mereka berbeda-beda.”

Di tengah situasi ini, pendidikan semestinya menjadi pilar toleransi, bukan arena pemaksaan. Sekolah negeri, sebagai lembaga publik, harus mampu memastikan setiap siswa mendapatkan haknya untuk belajar sesuai agama masing-masing.

Jika keterbatasan guru menjadi alasan, pemerintah pusat dan daerah seharusnya segera mengatasinya dengan rekrutmen dan distribusi guru yang adil. Masyarakat juga perlu memahami bahwa keberagaman agama bukan ancaman yang harus dilenyapkan, melainkan realitas sosial yang tak terhindarkan.

Dalam konteks Indonesia yang plural, memaksakan siswa mengikuti ajaran agama mayoritas justru merusak ikatan kebangsaan yang telah dibangun dengan susah payah.

Perlu ada sejumlah langkah penting yang harus dilakukan. Misalnya, pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan harus memastikan kurikulum agama bersifat inklusif dan adaptif. Setiap sekolah negeri harus menyediakan guru agama untuk semua agama resmi, atau menyediakan mekanisme pembelajaran alternatif bagi siswa minoritas.

Langkah lainnya adalah bahwa kepala daerah harus berani menegakkan konstitusi tanpa tunduk pada tekanan kelompok intoleran. Kebijakan yang menutup ruang bagi keberagaman hanya akan memupuk diskriminasi sistemik yang sulit dicabut di kemudian hari.

Terakhir, sekolah perlu difungsikan kembali sebagai ruang perjumpaan lintas iman. Alih-alih memaksa keseragaman, sekolah harus mengajarkan nilai-nilai universal, seperti empati, keadilan, dan penghormatan terhadap perbedaan.

Kebebasan beragama bukan sekadar hak sipil yang dijamin konstitusi. Ia adalah amanah moral yang harus dijaga bersama. Agama yang sejati tidak mungkin merestui pemaksaan, sebab iman sejati lahir dari hati yang bersih dan bebas. Pemaksaan siswa minoritas untuk belajar agama mayoritas bukan hanya bentuk diskriminasi, tetapi juga kegagalan kita sebagai bangsa dalam mengamalkan nilai-nilai spiritual yang kita agungkan. Kini saatnya kita bertanya, apakah ingin anak-anak kita tumbuh sebagai generasi yang beriman karena keyakinannya, atau sekadar berpura-pura taat karena takut terhadap sistem yang menindas. Sekolah seharusnya menjadi ladang subur bagi kebebasan dan kemuliaan manusia, bukan ladang yang merampas hak-hak dasar anak-anak kita.

Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Alvin Mardigantara
Alvin Mardigantara
6 days ago

Setuju sekali dengan pemikiran ini. Bagaimanapun pluralisme sudah menjadi nasib dari bangsa ini. Hal terbaik yang bisa dilakukan kita sebagai masyarakat adalah menjaga untuk terus dapat hidup berdampingan dengan bahagia.

Jalin Kerjasama

GemaMerahPutih.com terbuka untuk kolaborasi dan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat maupun lembaga. Silahkan hubungi kami:

Jenis Kerjasama

Form Pengaduan

Silahkan tuliskan pengaduan Anda di dalam form berikut: