Hidup terus bergerak. Petak kekuatan ekonomi dan politik global juga semakin dinamis dan tumbuh pesat. Dunia betul-betul terasa semakin sempit. Mereka yang tinggal di pelosok pedalaman tanah air juga bagian dari warga masyarakat global. Tiada lagi yang dinantikan selain kemampuan beradaptasi tanpa meninggalkan akar.
Baru-baru ini Indonesia bergabung dengan BRICS menjadi anggota tetap. Otomatis satu lagi tantangan datang bagi bangsa kita. Mampu bersaing dengan mereka yang ada di Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa Timur. Mau tidak mau kualitas SDM bangsa mendesak untuk diakselerasi. Lebih-lebih dari 215 negara di seluruh dunia, tingkat pendidikan Indonesia sulit bertengger di 100 terbaik.
Kabar baiknya, kekuatan ekonomi Indonesia adalah yang terbesar ke-8 di seluruh dunia. Sedangkan kekuatan militernya masuk dalam 15 besar di dunia. Dua kabar ini setidaknya sedikit memberi angin segar, menutupi rendahnya pendidikan dan kualitas SDM. Dengan peningkatan pendidikan dan kualitas SDM, terbuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan rangking di bidang ekonomi dan militer.
Namun demikian, berjaya di bidang ekonomi, militer dan pendidikan bukan satu-satunya kebutuhan dasar bangsa ini. Aspek lain yang juga penting bagi bangsa ini adalah meningkatkan kekuatan spiritualitas dan religiusitasnya. Banyak orang tajir dan berkuasa di Indonesia yang tidak mau bayar pajak, misalnya. Padahal, berbagi kesejahteraan dan kebahagiaan dengan orang lain adalah ajaran penting agama apapun.
Kecerdasan intelektual, kekayaan finansional, dan kekuasaan politis pada dasarnya bukan jaminan bagi kesejahteraan sosial. Kecerdasan spiritual dan kecerdasan religius kerap menjadi barang berharga yang tidak dimiliki oleh mereka yang kaya secara keuangan, cerdas secara pendidikan dan berkuasa di negara ini. Mereka pada dasarnya masih miskin nilai-nilai spiritualitas dan religiusitas.
Spiritualitas dan religiusitas yang tercermin pada Sila Pertama Ketuhanan Yang Mahaesa haruslah diwujudkan secara konkret. Melalui upaya-upaya yang bertujuan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Menjaga kaya tidak dilarang, tetapi berbagi empati adalah kewajiban. Berkuasa tidak dilarang, tetapi adil adalah keniscayaan.
Untuk itulah, dalam rangka menyambut “Indonesia Emas 2045”, seluruh elemen bangsa harus mempersiapkan diri dengan ilmu dan amal. Ilmu saja tidak cukup. Banyak orang berilmu, kemudian menjadi kaya dan berkuasa. Namun, mereka kurang beramal. Ilmu penting untuk menjaga kaya dan berkuasa, tetapi amal juga penting untuk menjadi lebih religius.
Religiusitas dan spiritualitas seseorang diukur dari amalnya. Seorang pemimpin diukur dari caranya membawa kesejahteraan dan kemakmuran lahirian maupun batiniah bagi rakyatnya. Begitu juga rakyat diukur sejauh mana kontribusinya pada bangsa dan negara, serta menjadikannya harum di mata dunia. Menuntut pemerintah berpihak pada rakyat adalah tanggung jawab, tetapi berkontribusi pada bangsa dan negara juga kewajiban yang sama.
Keberpihak pada rakyat dan kontribusi pada negara adalah nilai-nilai spiritualitas yang harus dipegang teguh oleh generasi ini. Pemerintah dan rakyat bahu-membahu menjadikan Indonesia bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun seluruh umat manusia di muka bumi. Menjadi bangsa teladan dan menjadi negara panutan.
Tentu saja syaratnya adalah menjadi insan yang religius dan spiritualis. Menjadi Insan Pancasilais, yang menjunjung tinggi Sila Kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan, keadilan, dan keadaban bukan benda material tetapi nilai-nilai ideal. Oleh karenanya, mengimplementasikan nilai-nilai ideal, religius, dan spiritual semacam ini sama pentingnya dengan mengejar tujuan-tujuan material seperti kecerdasan, kekayaan dan kekuasaan.
Cerdas, kaya, dan berkuasa tidaklah cukup jika amal perbuatannya tidak adil, merugikan orang lain, dan merampas hak orang lain. Tidak cukup jika amalnya menciderai kemanusiaan dan melanggar adab maupun etika. Haruslah seimbang mengejar tujuan material dan spiritual. Haruslah seimbang antara kebahagiaan duniawi dan akhirat. Dan kebahagiaan akhirat diukur dari amal perbuatan yang bermanfaat bagi orang lain.
Generasi Indonesia Emas 2045 bukan generasi yang semata-mata duniawi. Jika itu terjadi, maka manusia akan kehilangan kemanusiaannya dan turun kasta menjadi binatang, yang hanya tahu cara berkonflik untuk mencari makan dan bertahan hidup. Generasi Indonesia Emas 2045 adalah generasi yang menyeimbangkan mencari makan dan bertahan hidup di dunia ini tanpa mengorbankan kebahagiaan akhirat.
Sebaliknya, manusia yang kehilangan kemanusiaannya bukan saja turun kasta menjadi binatang, melainkan bisa lebih hina dari binatang. Manusia adalah makhluk yang memiliki kecerdasan. Jika kecerdasannya digunakan dengan cara dan untuk tujuan yang salah maka perilaku manusia jauh lebih destruktif dari binatang. Tidak catatan sejarah dimana binatang menghancurkan sebuah kota. Penghancuran sebuah kota bahkan negara hanya dilakukan oleh manusia.
Manusia yang kehilangan kemanusiaannya adalah manusia binatang. Tidak segan-segan memangsa suku bangsanya sendiri. Merampas tanah, adat-istiadat, kebudayaan dan sumber mata pencaharian untuk kepentingannya sendiri. Hewan buas sekalipun tidak akan memangsa kawanannya sendiri. Hanya manusia yang lebih berbahaya dan destruktif dari binatang buas. Oleh karenanya, religiusitas dan spiritualitas harus mengeimbangi pengejaran keuntungan duniawi.
Masih tersisa dua windu lagi dari sekarang menuju tahun 2045. Waktu sudah tidak cukup lagi. Bangsa ini harus berani mengambil tindakan-tindakan revolusioner untuk menjadi Insan Berilmu dan Beramal. Insan yang menyeimbangkan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Menyeimbangkan antara kecerdasan, kekayaan dan kekuasaan dengan nilai-nilai religius seperti kemanusiaan, keadilan, dan keadaban. Semoga tida menjadi bagian orang yang merugi dan menyesali pilihan hari ini.[]