SUASANA Desa Cangkring B, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, ramai. Sepanjang jalan hingga ke sebuah rumah penuh oleh warga. Di sebuah rumah itu, tinggal seorang guru tua.
Namanya Ahmad Zuhdi. Lebih dari tiga dekade, ia mengabdi sebagai guru madrasah diniyah (madin) dengan honor hanya Rp450 ribu, itu pun setiap empat bulan.
Sabtu (19/7/2025), suasana di lingkungan rumahnya berubah. Banyak warga berkumpul. Dari kejauhan, iring-iringan kendaraan datang. Di tengah barisan itu, ternyata datang pendakwah dikenal luas, Gus Miftah. Bersama istrinya, Ning Astuti, ia disambut warga. Tokoh masyarakat setempat, anggota Banser, ormas GRIB, terlihat menyertainya.
Namun bukan rombongan yang jadi pusat perhatian, melainkan air mata yang jatuh dari pelupuk Gus Miftah saat menyalami sang guru ngaji itu. Kedatangannya ini, disebut karena nuraninya terusik. Ia seperti melihat bapaknya sendiri, guru ngaji dan orang yang mesti dihormatinya.
Gus Miftah sudah mendengar kisah pilu sang Guru Ngaji tersebut. Kasus ini bermula dari dugaan tamparan. Tamparan spontan seorang guru kepada muridnya. Bermula bocah laki-laki yang melemparkan sandal hingga mengenai kepala sang ustaz. Kemudian, diduga sang guru spontan menamparnya.
Tamparan itu bukan karena benci, melainkan refleks. Tapi apa daya, dunia hari ini begitu cepat menghukum sebelum mendengar alasan. Zuhdi dilaporkan. Ia diminta membayar denda “damai” sebesar Rp25 juta oleh orang tua murid.
Setelah negosiasi alot, jumlahnya ditekan menjadi Rp12,5 juta. Namun harga itu tak murah bagi seorang guru yang setiap hari menempuh delapan kilometer dengan sepeda motor butut, demi mengajar ilmu agama pada anak-anak desa.
Kisahnya viral di media sosial. Ribuan komentar memenuhi lini masa. Sebagian besar menilai ini sebagai bentuk kriminalisasi guru. Tagar #SaveGuruMadrasahDemak bermunculan. Ajakan donasi sudah ramai. Tapi di luar seruan maya, satu tindakan nyata datang dari Gus Miftah.
“Pak Kyai Zuhdi, uang yang dikeluarkan untuk bayar denda akan saya ganti semua (Rp25 juta). Bahkan lebih dari itu, saya akan berangkatkan umrah bersama istri (dan ibunya),” ucap Gus Miftah yang disambut isak haru keluarga Zuhdi.
Tak hanya itu, satu unit sepeda motor baru pun dibelikan dan langsung diserahkan dari dialer sekitar. Sebuah simbol penghormatan bagi pengabdian yang tak pernah mengeluh, bahkan saat ada yang seolah menutup mata pada guru-guru kecil di desa seperti Zuhdi.
Warga menyambutnya bak pahlawan. Kepala desa, Zamharir, tak mampu menyembunyikan emosinya. “Pak Zuhdi ini puluhan tahun jadi guru ngaji. Gaji kecil, kerja serabutan,” ujarnya.
Bagi Gus Miftah, ini bukan sekadar aksi sosial. Ini soal harga diri profesi guru, khususnya guru ngaji. Ia menolak jika kesalahan yang mestinya bisa diselesaikan secara musyawarah harus berakhir dengan hukuman tak seimbang.
Ingat, guru ngaji itu ulama kecil. Mereka pilar spiritual bangsa. Jangan cabik martabat mereka, hanya karena emosi sesaat.
Warganet pun bersuara. “Kalau salah ya dibina, bukan dibina hukum seperti ini,” tulis akun @ali_masXXXX. Akun lain, @exploresemaXXXX, meminta dibuka donasi. “Open donasi ora?” ujarnya.
Tak banyak yang tahu, Zuhdi tak hanya mengajar, tapi juga bekerja di ladang. Ia dan istrinya buruh tani. Tapi ia tak pernah berhenti datang ke madrasah setiap hari. Bahkan dengan sandal jepit dan gaji tak seberapa, ia tetap menyapa murid-muridnya dengan senyum.
Hari itu, wajahnya penuh haru. Ia merasa kehadiran Gus Miftah, menjadi bukti bahwa masih ada harapan. Akhirnya martabat seorang guru dikembalikan oleh tamparan nurani, bukan kemarahan.
Artikel ini mengedepankan asas praduga tak bersalah dan semangat untuk menyelesaikan konflik di lingkungan pendidikan secara adil dan manusiawi.